Senin, 19 Juli 2010

PENGUMUMAN

Di beritahukan kepada mahasiswa fkip bahwa yudisium dilaksanakan pada tgl 18 ags 2010
dan KRS onlie dilaksanakan pada tgl 19 agts 2010.......

kuliah umum

Cita Sipil Indonesia Pasca-kolonial1:
Masalah Lama, Tantangan Baru2
Freddy K. Kalidjernih3

Abstrak

Makalah ini membahas beberapa aspek historis dan politis formulasi cita sipil (civic ideal) Indonesia, khususnya dikaitkan dengan pendidikan kewarganegaraan. Dengan mengambil perspektif pasca-kolonial, saya ingin berargumen bahwa pelbagai masalah sudah melekat sejak formulasi cita sipil itu dilakukan dan terus mempengaruhi pendidikan kewarganegaraan Indonesia selama enam dasawarsa terakhir. Faktor otoritas negara—yang dominan– dalam mengkonstruk cita sipil Indonesia pasca-kolonial hanyalah satu determinan. Hegemoni ideologis rezim dapat terwujud karena saling pengaruhnya dengan dua faktor utama lain, yakni struktur dan kultur pasca-kolonial. Oleh karena itu, ketiga aspek ini akan tetap menjadi tantangan dalam merevitalisasi cita sipil melalui formulasi pengetahuan kewarganegaraan Indonesia, khususnya melalui pendidikan formal kewarganegaraan, kini dan masa depan.

Otoritas Negara bukan Satu-satunya Determinan

Pendidikan kewarganegaraan Indonesia zaman Orde Baru (1966-1998) dikritik karena tidak atau kurang merefleksikan cita sipil yang demokratis.4 Anggapan selama ini adalah bahwa kekeliruan itu bersumber pada otoritas negara (state agents) melalui indoktrinisasi politik yang berlebihan. Setelah pelengseran rezim otoriter, yakni ketika indoktrinisasi sudah tidak terdengar lagi, timbul harapan besar bahwa kehidupan berbangsa akan semakin demokratis. Di era ‘reformasi’, wacana kewarganegaraan baru meletakkan pengakuan atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam masyarakat pluralis yang demokratis. Atau dengan kata lain, perjuangan dan pemerolehan hak sipil, hak asasi manusia dan keadilan sosial dan politik diyakini akan lebih mudah dicapai. Upaya itu diwujudkan, misalnya, melalui amendemen Undang Undang Dasar 1945 dan keinginan untuk merevitalisasi Pancasila. Akan tetapi, setelah hampir sewindu, kelihatannya harapan ini tidak begitu tampak, terkecuali pada aspek kebebasan berekspresi dimana kesempatan yang tersedia memang juah lebih luas (tidak terkekang) dibandingkan dengan kesempatan pada masa rezim otoriter. Di lain pihak, di era ‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia justru dihadapkan pada pelbagai fenomena yang mempengaruhi kewarganegaraannya, seperti rasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitaslisasi cita sipil, khususnya melalui pendidikan kewarganegaraan.

Sekalipun peran rezim otoriter dalam menyumbangkan kelemahan pendidikan kewarganegaran memang sangat dominan, menurut hemat saya analisis mengenai indoktrinisasi politik dan hegemoni ideologis rezim tersebut harus dikontekstualisasikan ke dalam lingkungan Indonesia pasca-kolonial. Indoktrinisasi tidak terjadi dalam kevakuman. Tidak cukup menunjukkan kelemahan kewarganegaraan rezim otoriter yang hanya disebabkan oleh indoktrinisasi. Pertanyaan yang lebih penting yang semestinya diajukan adalah bagaimana dan dalam kondisi apa indoktrinisasi itu dimungkinkan. Dengan menjelajahi kondisi-kondisi ini kita dapat mengidentifikasikan lebih baik isu-isu inheren yang dikonstruk melalui teori, konsep dan perspektif sosial dan politik Barat. Argumen saya adalah bahwa relasi kekuasaan Indonesia pasca-kolonial tidak seimbang karena kultur dan struktur sosial relatif stabil (atau: diupayakan stabil oleh rezim melalui ‘normalisasi’ kehidupan sosial); sementara itu, penafsiran makna sosial dimonopoli oleh negara. Jadi, terdapat tiga faktor utama yang saling berhubungan, yakni struktur sosial, kultur dan otoritas negara yang membentuk kondisi-kondisi kewarganegaraan demokratis dan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia pasca-kolonial. Kenyaatan ini mengimplikasikan bahwa upaya memodifikasi kurikulum pendidikan kewarganegaraan Indonesia pada masa pasca-rezim otoriter akan berdampak kecil bila kondisi-kondisi pasca-kolonial tersebut tidak berubah banyak.

Makalah ini menelusiri beberapa aspek penting Indonesia pasca-kolonial yang menjadi kondisi-kondisi yang mempengaruhi gagasan kewarganegaraan dan praktiknya di Indonesia selama enam dasawarsa terakhir, dan selanjutnya dibagi menjadi beberapa bagian. Mengikuti bagian pengantar ini dipaparkan secara ringkas kondisi Indonesia pasca-kolonial dimana saling pengaruh otoritas negara, institusi-institusi, struktur-struktur sosial, dan kultur-kultur masyarakat Indonesia telah mempengaruhi praktik kewarganegaraan Indonesia. Bagian selanjutnya melihat bagaimana landasan ideologis Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dipahami, dan bagaimana teori negara integralistik muncul sebagai gagasan yang mempengaruhi hubungan antara negara dan warganegara dalam kehidupan politik Indonesia pasca-kolonial. Bagian yang mengikutinya mengulas beberapa ciri sistem politik negara Indonesia pasca-kolonial yang hingga dewasa ini masih mempengaruhi panggung politik dan kewarganegaraan negara ini. Pada bagian ‘Islam dan Civil Society’ akan diulas secara ringkas bagaimana kaum intelektual dan pemuka agama mencoba memahami perspektif dan ajaran Islam dalam konteks negara Indonesia ‘modern’. Bagian ini diikuti dengan sebuah bagian yang lebih ringkas yang mencatat beberapa isu kultural penting yang menandai kehidupan masyarakat di Indonesia. Bagian terakhir merupakan bagian penutup yang sekaligus mengajak kita mempersiapkan diri untuk mengevaluasi perubahan-perubahan dan hasil dari perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap pendidikan formal kewarganegaraan setelah lengsernya rezim otoriter Orde Baru.



Kondisi Indonesia Pasca-kolonial

Isu-isu kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan Indonesia tidak hanya melibatkan kebijakan pendidikan rezim yang memerintah di negara ini, tetapi juga faktor-faktor kultural dan struktural. Sebagai sebuah negara-bangsa baru, Indonesia pasca-kolonial mewarisi suatu lingkungan yang membuat konsep kewarganegaraannya problematis. Kepentingan rezim hanyalah salah satu variabel yang membentuk cita sipil Indonesia. Dua fitur penting lain adalah variabel sosial dan kultural. Aspek struktural meliputi struktur sosial yang membentuk karakter ekonomi dan politik negara ini. Pada gilirannya, faktor-faktor ekonomi dan politik mempengaruhi aspek-aspek sosial dan psikologis. Variabel-variabel kultural meliputi nilai-nilai kultural, khususnya etika dan cara pandang (world-view) Jawa, dan perspektif Islam tentang kedirian (self) dan relasi sosial. Bersama konsideran-konsideran struktural, kedua variabel inilah yang digunakan rezim selama ini dalam mempengaruhi gagasan kewarganegaraan demokratis Indonesia. Ketiga variabel ini membentuk determinan cita sipil Indonesia, dan bersama-sama mempengaruhi sejauh mana kewarganegaraan yang demokratis dipraktikkan di negara ini. Interseksi (intersection) mereka dimanifestasikan oleh kebijakan pendidikan. Ringkasnya, pendidikan kewarganegaraan demokratis merupakan hasil dari saling pengaruh (interplay) ketiga variabel ini, otoritas negara dan institusi-institusi, struktur-struktur masyarakat, dan kultur-kultur Indonesia pasca-kolonial.

Karakter fisik, ekonomi dan sosial Indonesia sangatlah berbeda dengan negara-negara-bangsa yang lebih tua dalam masyarakat Eropa dimana kewarganegaraan demokratis modern berevolusi. Dengan lebih dari 17.000 ribu pulau besar dan kecil yang tersebar sepanjang 3.500 persegi-mil, dari Sabang sampai Merauke, luas geografis kepulauan Indonesia lebih luas dari Eropa Barat, dan hampir sebanding dengan Amerika Serikat dan Australia. Dengan jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa, Indonesia kini menduduki peringkat keempat negara paling padat di dunia. Tambahan pula, dengan jumlah sekitar 500 kelompok etnis dan 700 bahasa, Indonesia merupakan negara yang memiliki budaya paling beranekaragam di planet ini.

Masalah-masalah ekonomi dan struktural yang serius sudah terdapat di Indonesia sejak kemerdekaan. Bertahun-tahun Indonesia bergantung kepada pinjaman dan investasi modal luar negeri. Dewasa ini pengangguran diperkirakan mencapai sekitar 40 juta orang. Sebagain jumlah penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ketidaksetaraan distribusi manfaat ekonomi secara vertikal dan horizontal melintas keanekaragaman penduduk, dan kekurangan akses kepada pelbagai bentuk infrastruktur fisik, seperti pendidikan dan kesehatan, teknologi komunikasi dan transportasi, telah mempengaruhi secara serius integrasi dan pembangunan bangsa. Kondisi-kondisi struktural ini diperburuk oleh pelbagai masalah sosial dan kultural, terutama ketegangan-ketegangan etnis dan agama yang secara potensial eksplosif dan mudah dipolitisir. Secara historis, ekonomi negara ini secara substansial kurang mendapat perhatian pada zaman Orde Lama (1945-1966), karena urgensi perjuangan-perjuangan pasca-kemerdekaan. Perhatian Indonesia banyak dicurahkan kepada perjuangan melawan Belanda, yang kembali ke kepulauan ini antara 1945 dan 1949 guna menancapkan kembali kekuasaan kolonialnya. Energi bangsa juga terserap oleh konflik-konflik antar faksi di negara baru ini, khsusnya antara kekuatan-kekuatan komunis dan non-komunis di tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Lama. Indonesia sangat terkena dampak oleh dua ideologi dunia pada masa Perang Dingin: kapitalisme/liberalisme dan sosialisme/komunisme.

Sebagai sebuah negara eks-koloni yang sangat ingin mencicipi kebebasan, Indonesia sangat rentan terhadap hegemoni global Amerika. Negara ini mengadopsi sistem pemerintahan federal yang bertahan hidup sangat pendek yang dipaksakan oleh Belanda (1949-1950), dan kemudian mencoba sistem pemerintahan liberal (Demokrasi Parlementer (1950-1957)). Walhasil, Amerika Serikat segera mempengaruhi negara yang ‘kurang-berdaya’ ini, sebagian melalui bantuan keuangan. Akan tetapi kondisi-kondisi politik yang tidak stabil dan ekonomi yang stagnan mendorong Sukarno condong kepada sosialisme, dan memberlakukan Demokrasi Terpimpin (1957-1965) Situasi ekonomi semakin memburuk. Amerika Serikat menjadi semakin peduli dengan gerakan-gerakan ke arah komunisme di Indonesia, dan mengintervensi negara ini secara politik, ekonomi dan kultural (Anderson 1998). Pada tahun-tahun terakhir Orde Lama, Sukarno menjadi semakin otoriter dan terisolasi, sampai dia kehilangan kontrol terhadap situasi negara ini. Pada tahun 1966, setelah terjadi kudeta, dia dipaksa untuk mentransfer kekuasaannya kepada Suharto.

Suharto mengimplementasikan sebuah model pembangunan untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang ditinggalkan rezim Orde Lama. Dia menjalin hubungan dekat dengan kekuatan-kekuatan Barat dan meluncurkan gerakan anti-komunis. Dia sukses membawa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan pada dua dekade pertama pemerintahannya. Stabilitas politik masa Orde Baru utamanya karena pemerintahannya yang otoriter. Atas nama pembangunan nasional dan anti-komunisme, rezim Suharto otoriter dan represif dan ditandai oleh semakin meningkatnya patronase dan nepotisme. Suara-suara alternatif yang dianggap membahayakan posisinya dibungkamnya. Sekalipun membawa pertumbuhan ekonomi, administrasi developmentalisnya banyak mengabaikan prinsip-prinsip etis dalam menghasilkan kekayaan. Korupsi pada tingkat institusi dan individu cenderung endemik, dan kesenjangan distribusi pendapatan menjadi lebih luas. Rezim developmentalisnya sering dianggap banyak kalangan telah melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia. Salah satu fitur yang jelas adalah bahwa selama 32 tahun rezim otoriter ini memaksakan suatu integritas nasional melalui kekuatan dari atas ke bawah (top-down) daripada menumbuhkannya dari bawah ke atas. Integrasi sosial yang dipaksakan dalam masyarakat Indonesia yang plural ini tampak mulai ‘terganggu’ dengan jatuhnya Suharto dan Orde Baru.



Landasan Ideologis

Dalam menyusun filosofi negara dan konstitusi, Indonesia pasca-kolonial bercermin dari pengalaman negara-negara demokrasi yang lebih maju, terutama dalam mengadopsi teori dan konsep sosial dan politik Barat. Akan tetapi, teori dan konsep itu direinterpretasikan dan dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan setempat– suatu kenyataan yang telah mempengaruhi konsepsi cita sipil dalam pendidikan kewarganegaraan negara ini. Pancasila (ideologi negara), Undang-Undang Dasar 1945 (konstitusi nasional) dan paham Negara Integralistik merupakan landasan ideologis dan sistem negara dimana prinsip-prinsip pendidikan kewarganegaraan didasarkan. Akan tetapi, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 terus mendapat tantangan dari waktu ke waktu, baik dalam cara pemaknaan maupun resepsi terhadap keduanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian juga, paham Negara Integralistik yang direadopsi pada zaman Orde Baru karena dianggap cocok dengan kepentingan rezim. Pemaknaan, pemahaman dan penerapan ideologi, konstitusi dan sistem negara ini membawa implikasi penting terhadap kewarganegaraan Indonesia.

Dalam pelbagai perdebatan, Pancasila, misalnya, dianggap sebagai sintesis elemen-elemen demokrasi Barat, perspektif modernis Islam, dan sosialis, serta gagasan-gagasan komunalis desa-desa setempat (Kahin 1970). Umumnya banyak ahli setuju dengan George Kahin, dan menganggap bahwa Pancasila merupakan perpaduan pragmatis dari sejumlah prinsip umum yang sesuai dengan masyarakat Indonesia yang heterogen. Namun, sejumlah kritik diarahkan kepada penggunaan ideologi Pancasila untuk tujuan otoriter oleh pejabat-pejabat Orde Baru, dan efek-efek dari penerapan ini pada struktur-struktur politik. Adam Schwarz, sebagai contoh, mengeritik aplikasi Pancasila sebagai ‘selimut kegiatan politik…yang meninggalkan struktur-struktur politik tetap berdiri tetapi dengan fondasi yang lemah.’ (Schwarz 1999:47). Selanjutnya dia berpendapat bahwa sekalipun kelima sila itu sangat bermakna dan tidak diragukan membantu memoderatkan ketegangan-ketegangan komunal, beberapa pemimpin Orde Baru telah menggunakan mereka untuk memelintir komunikasi yang bermakna antara para pemimpin dan kawula mereka. Di samping itu, pengambilan keputusan yang konsensus yang praktikal di tingkat desa dianggap sebagai sebuah kesepakatan yang diwajibkan dengan pemegang kekuasaanya di tingkat nasional.

Kewarganegaraan di Indonesia secara legal didasarkan kepada konstitusi nasional Undang-Undang Dasar 1945 (Bab X, artikel 26 - artikel 34). Dengan diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1945, bangsa Indonesia menunjukkan bahwa negaranya adalah berdasarkan hukum (rechstaat), dan negara kesatuan yang berbentuk republik. Adopsi dan adaptasi konstitusionalisme dan republikanisme menegaskan bahwa ‘kewarganegaraan dipandang sebagai sesuatu yang umum (res public), dan rakyat akan mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan mereka masing-masing’ (Dagger 2002:155). Penekanan kuat kepada a sense of community and duties, dan pada kepentingan umum daripada kebebasan individu, merupakan argumen bapak bangsa, terutama Sukarno dan Soepomo, tentang nilai-nilai yang cocok untuk negara Indonesia pasca-kolonial.

Salah satu unsur penting yang mewarnai kewarganegaraan Indonesia adalah ‘teori negara integralistik’ yang dilontarkan Soepomo pada sidang umum Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. Setelah menjelaskan hakekat dua paham utama dan menyatakan penolakannya, yakni individualisme Eropa dan Marxisme dan/atau ketidaktatoran proletariat Rusia, Soepomo mengajukan teori integralistik yang diserapnya dari pemikiran Baruch de Spinoza, Adam Muller dan George E.F. Hegel, dan beberapa pemikir Eropa abad ke-delapan belas dan sembilan belas. Menurut teori ini, fungsi negara adalah memperhatikan kepentingan umum sebagai suatu kesatuan daripada kepentingan individu dan kelompok. Masyarakat sistem integral ini saling berhubungan, menjadi bagain tak terpisahkan dari suatu kesatuan atau masyarakat organik. Menurut Soepomo, prinsip kesatuan antara pemimpin dan rakyatnya dan prinsip bersatu dari keseluruhan negara, yang mencerminkan semangat gotong-royong dan semangat kekeluargaan, konsisten dengan kultur Timur.

Teori negara integralistik jelas bersesuaian dengan unsur utama republikanisme dan konsep Jawa tentang ‘manunggaling kawula-Gusti’ (kesatuan antara Gusti dan kawula; yang berdaulat dan subyeknya). Menurut Adam Muller (Magnis- Suseno 1992) gagasan yang ideal tentang negara adalah otoritas sentral yang kuat. Sekali lagi, dimensi ini mirip dengan public enterprise of republicanism. Ini juga dekat dengan hubungan antara yang berdaulat (pemimpin atau negara) dan rakyat biasa, dan fokus kepada supremasi negara (Tuhan atau representasinya di dunia) yang meliputi semesta dan manusia sebagai kesatuan yang populer dalam konsep Jawa ‘manunggaling kawula- Gusti’.

Rezim Orde Baru berupaya merevitalisasi teori negara integralistik, guna melegitimasi kekuasaannya dan menjaga status quo. Sudah jelas bahwa teori negara integralistik dan paham integral (integralisme) tidak tumbuh dari bentuk konstitusional setempat (indigenous) di kepulauan nusantara, tetapi merupakan adopsi dari ideologi Jerman (German-Romanticism), yang pada tahap-tahap selanjutnya tampak pula upaya memperkokohnya melalui teori-teori sosial fungsionalisme-struktural (French-Functionalism) (periksa, misalnya, Gouldner 1970). Bahkan, jejak-jejak pasca-kolonial sangat jelas. Seperti yang ditunjukkan oleh David Bourchier (1996), perkembangan pemikiran politik organik yang bersumber pada Hegel, Muller dan Spinoza, dibawa oleh para sarjana Belanda ke Indonesia, terutama Cornellius van Vollenhoven dan para muridnya. Van Vollenhoven adalah guru Soepomo di Universitas Leiden. Pada tahun 1943, Soepomo yang saat itu adalah seorang guru besar ilmu hukum dan seorang pejabat di Departemen Justisi (Justice Department), juga pernah melawat ke Jepang dan menetap selama empat bulan di sana. Sekembalinya dari negara Sakura itu, Soepomo mengungkapkan kekagumannya atas kebudayaan Jepang dan menyatakan kualitas-kualitas Timur yang esensial dapat memberikan kepada kaum intelektual Indonesia yang teralienasi dalam sistem pendidikan Barat, dengan awareness kepribadian dan kebudayaan nasional mereka pada tataran yang lebih tinggi dan konteks yang lebih luas (Bourchier 1996:70).

Seperti diketahui, Jepang (Dai Nippon) pada awal abad keduapuluh memperluas kekuasaannya dengan melakukan penjajahan di Asia-Timur, dengan menempuh jalan fasistik. Kegandrungan Jepang kepada Romantisme Jerman sekurang-kurangnya dapat ditelusuri dari Inoue Tetsujiro yang tiba di Jerman pada tahun 1890, dan belajar filsafat di sana selama 6 tahun. Inoue merupakan penulis Imperial Rescript yang diindoktrinisasikan melalui instruksi ideologis dan moral di sekolah-sekolah Jepang. Menurut Gluck (seperti dikutip Bourchier 1996:44) ‘Inoue memfabrikasi dasar-dasar ideologi negara-keluarga dari analogi dari seorang pemimpin dari tokoh bapak dalam konfusianisme dan teori-teori organis Barat tentang negara.’ Bila dikaitkan dengan pendidikan kewarganegaraan Indonesia, tidak mengherankan bahwa wacana dan argumen yang menitikberatkan ‘semangat kekeluargaan’ bersesuaian dengan kerangka-kerja ideologi integral, dan manifestasinya dapat ditelusuri dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.



Beberapa Ciri Sistem Politik Negara Indonesia Pasca-kolonial

Di samping isu-isu ideologi, konstitusi dan sistem negara, tampaknya kita perlu melihat bahwa gagasan-gagasan yang diformulasikan oleh para bangsa tidaklah sepenuhnya dapat dipraktikkan dengan baik seperti yang mereka cita-citakan. Hal ini dikarenakan rezim-rezim pemerintahan memiliki beberapa ciri di bawah kondisi-kondisi Indonesia pasca-kolonial. Rezim-rezim otoriter di Indonesia cenderung terbentuk, dimana kekuasaan berada di tangan kepala negara dan/atau eksekutif. Hal ini terjadi karena, seperti di sebut di atas, negara yang baru merdeka dipenuhi dengan konflik internal dan eksternal. Walhasil, revolusi sosial dan penggantian praktik-praktik kolonial tidak dapat segera tercapai. Pada awalnya, upaya nasional didedikasikan untuk menghancurkan kekuasaan kolonial yang mendominasi ekonomi. Akan tetapi, seperti ditunjukkan oleh Magnis-Suseno (2000), setelah kekuasaan politik penjajah berhasil dihancurkan, perubahan-perubahan struktur sosial tidak dirasakan sebagai urgensi. Hal ini dikarenakan struktur itu bertalian dengan kepentingan-kepentingan ekonomi elit politik.

Di satu pihak, para elit politik mengklaim sebagai nasionalis yang mendorong pembangunan nasional untuk rakyat. Di lain pihak, kelompok elit yang sama sering terlibat secara aktif dan secara finansial tertarik dalam pembangunan. Untuk memastikan negara dan ekonomi-nya (mereka?) berjalan lancar, dan dengan berwacana tentang ancaman komunis yang ‘real’ ataupun ‘dibayangkan’, stabilitas pun dipaksakan. Rezim Orde Baru, misalnya, menggunakan kata pamungkas ‘stabilitas’ untuk melegitimasi represi hak sipil individu dan perbedaan-perbedaan kultural, melalui kekuatan-kekuatan militer dan polisi, melalui aparatus negara yang ideologis, dan melalui pendidikan kewarganegaraan. Dalam konteks ini, praktik-praktik demikian tidak jauh banyak berbeda dari kekuasaan kolonial Belanda (dan Jepang), dan menjadi terinstitusionalisasikan dalam organisasi-organisasi dan birokrasi Indonesia yang merdeka.

Penekanan pada administrasi dan ekonomi pembangunan daripada politik yang dilakukan rezim Orde Baru, sebagai contoh, dianggap mirip dengan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1930an, yakni menekankan ‘negara sebagai mesin birokrasi yang efisien’ atau Beamtenstaat (McVey 1982:84). Banyak pengamat juga meyakini bahwa pengaruh Jawa, melalui reproduksi suatu sistem birokrasi patronase. Donal K. Emerson (1976), misalnya, berkesimpulan kultur politik Indonesia pada dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru sangat dicirikan oleh hubungan patron-klien. Sementara itu, Robison (1982) menegaskan bahwa politik patron-klien hanyalah satu dimensi kekuasaan dan politik Orde Baru. Dia berargumen bahwa abalisis politik Orde Baru harus mempertimbangkan dimensi sosio-ekonomi. Menurutnya, Orde Baru sendiri merupakan mikrokosme (microcosm) perjuangan antara bentuk-bentuk patrimonial dari kantong produksi tua dan formasi sosial petani dan bentuk otoritarian teregulasi yang baru dari suatu industrializing Indonesia’ (Robison 1982:146).

Herbert Feith (1980) menganggap bahwa birokrasi negara Indonesia pasca-kolonial yang menekankan pembangunan yang awalnya menjanjikan prospek bagi kesejahteraan rakyat dari kehancuran ekonomi di masa Orde Lama menjadi represif pada tahun-tahun sesudahnya. Rezim developmentalis-represif yang terdapat di pelbagai Asia, termasuk Indonesia, dicirikan oleh penguatan tema-tema ideologis tentang kewajiban moral kepada negara, seperti disiplin nasional, persatuan nasional, stabilitas untuk pembangunan dan manipulasi politik yang memperlemah dan memecah-belah kelompok-kelompok kekuatan alternatif. Nasionalisme sering ditandai oleh suatu dorongan untuk kembali ke nilai-nilai tradisional. Rezim-rezim developmentalis-represif menekankan pentinya hieraki, administrasi dan manajemen. Mereka curiga dengan segala antusiasme politik. Perlu ditambahkan di sini, rezim-rezim semacam ini—contoh konkrit adalah Orde Baru– lazimnya menekankan nasionalisme otoriter yang secara seragam mengkonstruk kewarganegaraan sebagai kesatuan organik dari suatu bangsa. Oleh karena itu, kebebasan dilihat dari sudut ‘bangsa vis-à -vis musuh-musuh dan pengacau-pengacaunya’ (Zubaida 1999:387).

Disamping beberapa ciri tersebut di atas, Harold Crouch (1980) menunjukkan bahwa kebijakan birokrasi pasca-Sukarno ditandai oleh tiga fitur utama, yakni: pertama, institusi-institusi politik yang didominasi oleh birokrat; kedua, parlemen, partai-partai politik dan kelompok-kelompok penekan yang kemampuannya untuk menyeimbangi dan mengontrol kekuasaan birokrasi relatif lemah, dan ketiga, secara politik, massa di luar birokrasi pasif, karena partai-partai politik dan kelompok-kelompok penekan lemah.



Islam dan Civil Society

Banyak sarjana telah mengidentifikasikan Islam sebagai salah satu pengaruh dalam pembentukan karakter negara dan masyarakat Indonesia pasca-kolonial (Benda 1958; Geertz 1968 1960; Hefner 2000, 1998, 1997; Lev 1972; Samson 1978). Sejak formulasi Pancasila sebagai dasar ideologis negara, perspektif dan ajaran Islam telah mempengaruhi perilaku politik dan nilai-nilai sosial masyarakat (periksa, misalnya, Yamin 1959). Pelbagai perdebatan pun masih berlangsung hingga kini di kalangan intelektual dan pemuka agama Islam di Indonesia tentang bagaimana bangsa Indonesia harus ‘memaknai’ dan ‘membangun’ negara Indonesia modern. Dua dasawarsa terakhir terjadi perubahan-perubahan signifikan pendekatan dalam menerapkan ajaran Islam oleh kaum intelektual Muslim di Indonesia.

Sebagai contoh, Muhammad A.S. Hikam (2000:222-226) mengidentifikasi tiga arus utama. Yang pertama adalah kaum intelektual yang menganggap Islam sebagai sebuah Pandekatan Alternatif. Bagi mereka, Islam dilihat sebagai sistem-nilai yang lengkap, yang seharusnya diterapkan sebagai alternatif untuk sistem (kewarganegaraan) yang ada. Penerapan pendekatan ini menuntut perubahan struktural, seperti yang dilakukan Ayatollah Khomeini di Iran dan Zia-ul Haq di Pakistan, mencakup pendirian bank-bank dan sistem-sistem legal Islam, penerapan gaya-hidup Islam untuk mensterilkan perilaku sosial dan menolak pengaruh-pengaruh non-Islam. Ini berarti kecenderungan menciptakan eklusifitas dan sektarian. Menurut Hikam, penekanan prinsip-prinsip formalistik dan legalistik Islam dapat membahayakan heterogenitas masyarakat Indonesia. Di Indonesia, sejumlah orang dan kelompok mengajukan implementasi prinsip-prinsip Islam untuk melawan tidak adanya atau kurangnya kepatuhan kepada hukum baik oleh elit maupun orang biasa. Di antara kaum intelektual yang masuk dalam kategori ini adalah Imaduddin A.R., A.M. Saefuddin dan Amien Rais.

Arus kedua terdiri dari mereka yang ingin menerapkan Pendekatan Kultural dalam proses penyebaran nilai-nilai Islam melalui modernitas dan pencerahan dalam komunitas Islam (umat). Landasan pendekatan ini adalah rasionalitas dan kontekstualitas pengajaran Islam melintas waktu dan ruang. Modernitas harus dilaksanakan dengan bernapaskan Islam, tetapi pendekatan yang kaku dalam penerapan standar-standar Islam perlu ditolak. Pendekatan kultural ini menarik simpati mereka yang suka dengan kehidupan modern yang bernapaskan nilai-nilai Islam, terutama kalangan menengah dan menengah ke atas kaum Muslim. Bagi Hikam, pendekatan ini mengabaikan kebutuhan perubahan structural untuk mengakomodasi keadilan dan kesetaraan dalam kontek Islam. Pendekatan ini terutama berpusat pada pemikiran dan kegiatan Nurcholish Madjid.

Kelompok ketiga mengambil Pendekatan Transformasi Sosio-kultural. Para intelektual ini menerima keharusan Islam sebagai suatu pendekatan kultural, tetapi bukan sebagai alternatif tunggal. Islam dapat berkembang lebih baik bila berkompelemnt dengan agama dan ideologi lain. Islam perlu membawa transformasi nilai-nilai yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan modern, khususnya kalangan miskin dan kurang berpendidikan. Islam harus memainkan peran dalam perubahan structural dalam masyarakat dengan mengembangkan nilai-nilai demokratis (Syura), egaliterianisme, kebebasan, dsb. Pendekatan ini bertujuan memberdayakan mereka yang ‘tidak berdaya’ (mustadh’afin) baik dalam kalangan Muslim maupun non-Muslim. Kaum intelektual yang masuk dalam kategori ini, seperti Abdurrahman Wahid, Moeslim Abdurtahman dan Djohan Effendi, meyakini bahwa mereka perlu bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan sosial manapun yang bertujuan memperbaiki struktur-struktur dan kondisi-kondisi sosial. Agenda utama mereka mencakup demokrasi akar-rumput, pemberdayaan politik, dan perbaikan ekonomi dan pendidikan.

Pelbagai perspektif Islam dalam pemaknaan Indonesia modern tersebut di atas membawa kita kepada ihwal sekuralisasi dan civil society. Sekularisasi dalam konsep negara-bangsa modern menekankan supremasi dan teknologi (rasio daripada keyakinan agama) dan sering dilihat sebagai melongsorkan keyakinan agama. Bila, sebagaimana disinyalir Ernest Gellner (1994:xi) bahwa, ‘tesis sekularisasi tidak diterapkan dalam Islam’, maka konsep negara-bangsa tidaklah konsisten dengan Islam. Konsep negara dalam Islam, dawlah, tidak mengimplikasikan suatu negara-bangsa dan pemisahan kekuasaan, tetapi ia mengimplikasikan kekuasaan berada dalam dinasti dari sebuah monarki, malik, sultan atau syah, dalam tradisi Arab. Negara dinastik atau monarki (raj) adalah sebuah ‘Dawlah Islamiyyah’, dan legitimasinya berasal bukan dari konstitusinya, tetapi keyakinan Islamik pemimpinnya (Schumann 1999). Konsep negara-bangsa telah lama menjadi problem bagi para pemimpin dan intelektual Islam. Islam mengakui persaudaraan Islam, Ukhuwwah Islamiyyah, dan menolak tribalisme dan nasionalisme Barat sebagai sesuatu yang tidak bersesuai (divisive).

Sehubungan dengan perspektif persaudaraan Islam, kita melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan Indonesia adalah negara-bangsa modern, yang mengakomodir keanekaragaman kultural yang condong kepada semangat kekeluargaan daripada individualisme dan liberalisme Barat modern. Banyak sarjana dan pemimpin Muslim Indonesia tampaknya setuju dengan Nurcholish Madjid yang menegaskan bahwa ‘Kami sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh domensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa’ (Madjid 1987:187).

Diskusi tentang suatu civil society Indonesia yang menunjukkan suatu ruang publik yang bebas dari pengaruh keluarga dan negara dimulai pada akhir 1980an, tetapi itu terjadi di Monash University di Australia, dan bukan di Indonesia. Almarhum Profesor Herberth Feith, seorang Indonesianis yang dihormati, mengundang sejumlah intelektual Indonesia ke sebuah seminar. Yang paling menonjol adalah Profesor Arief Budiman. Tema seminar dan judul dimana makalah-makalahnya disajikan menyangkut kapitalisme Orde Baru, korporatisme dan negara totaliter. Hanya artikel Arief Budiman yang memberikan suatu paparan umum tentang isu-isu civil society (Rahardjo 1999; Budiman 1990).

Sejak itu, para sarjana dan intelektual Muslim di Indonesia mulai membahas masyarakat madani. Perlu dicatat bahwa beberapa sarjana Muslim lebih senang menggunakan ‘civil society’ sebagaimana dilahirkan dalam tradisi Barat, dan sebagian lagi menggunakan masyarakat madani. Menurut Schumann (1999), lazimnya madinah merujuk kepada suatu tempat dimana din (agama) dimuliakan, khususnya pada zaman Nabi Muhammad. Oleh karena itu, mustama madani atau masyarakat beradab memberikan tempat kepada mereka yang bukan Islam tetapi yang hidupnya ‘tertib’. Ketika ihwal masyarakat madani diperdebatkan, umumnya dipahami sebagai sebuah utopia, masyarakat yang diidealkan yang bebas dari intervensi negara, dan diharapkan dapat membawa keadilan kepada masyarakat Indonesia secara umum. Civil society diperlukan agar demokrasi dapat berhasil karena ia mempromosikan asosiasi volunter (voluntary association), toletansi, kesetaraan, keterbukaan dan hak-hak asasi manusia.


Kultur Regional

Di samping kondisi-kondisi strukural, kepentingan-kepentingan politik dan keyakinan-keyakinan agama, sangat perlu untuk mempertimbangkan pengaruh kultur-kultur regional dalam kewarganegaraan demokratis Indonesia. Nilai-nilai dan praktik-praktik lokal memiliki pengaruh besar secara formal dan informal terhadap kegiatan-kegiatan sehari-hari pemerintah dan non-pemerintah. Tribalisme yang dipolitisir bisa saja menjadi batu sandungan dalam pengembangan ke arah suatu ‘kultur nasional’ jika orang-orang dari etnis dan keyakinan religi yang berbeda tidak bekerja sama (Koentjaraningrat 1974). Kultur-kultur dan praktik-praktik lokal dapat saja melongsorkan kohesi sosial dan identitas nasional, dan pada gilirannya semangat demokrasi modern.

Salah satu tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah bagaimana menyingkapi proses global yang mewarnai kehidupan pasca-kolonial. Perkembangan pesat teknologi informasi, bioteknologi, nano-teknologi, perubahan tatanan politik dunia, pertumbuhan penduduk dan eskalasi kerusakan ekologi, meluasnya mobilitas sosial, kapital, gagasan dan ilmu pengetahuan, terus bergulir dan melintas batas-batas negara di era globalisasi. Indonesia pasca-kolonial, yang sebagian penduduknya masih hidup dalam kultur rural dan/atau primordial vis-Ã -vis kultur korporasi (Soemardjan 2000), dituntut untuk dapat menghadapi perbedaan-perbedaan orientasi nilai-nilai secara dialogis, cerdas dan berjangka panjang.

Demikian juga, sikap mental yang dapat menghambat kemajuan yang ditunjukkan Koentjaraningrat (1974) hampir empat dasawarsa lalu sebagai kemunduran dalam aspek sosial-budaya akibat kolonialisasi, perlu mendapat perhatian serius. Sikap mental ini antara lain: meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak bersiplin murni dan tidak bertanggung jawab yang kokoh. Sikap mental ini boleh jadi ikut menyumbangkan pelbagai ketidak-ajeg-an dan ekses beberapa dasawarsa terakhir yang semakin meluas di masyarakat, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, prasangka (buruk), kambing hitam, adu-domba, mentang-mentang (dumeh), pamrih, mumpung, tidak mau mengakui kekurangan, kesalahan dan kekalahan.



Bahan Evaluasi

Bila kita melihat kenyataan-kenyatan di atas, selama enam dasawarsa kewarganegaraan Indonesia pasca-kolonial menekankan pemahaman cita sipil ‘top-down’, melalui ideologi-ideologi besar, konsep-konsep besar wacana modernis Barat atau perspektif tataran makro, yang disebut oleh Mohammad Somantri sebagai ‘the Great Oughts’ yang perlu diajarkan dan dipahami siswa-siswa dengan metode dan teknik yang tidak partipatoris tetapi cenderung merupakan kegiatan menghafal (Somantri 2001).

Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pengetahuan kewarganegaraan telah dikonstruk dan dinarasikan sebagai sebuah strategi identifikasi kultural atas nama kepentingan-kepentingan nasional. Konstitusi dan perkembangan pendidikan kewarganegaraan Indonesia pasca-kolonial tidak muncul dalam suatu kekosongan, tetapi dipengaruhi teori-teori sosial dan politik, dan perspektif, serta pengalaman dari negara-negara bangsa yang lebih tua di Eropa dan Amerika Utara. Kita telah melihat bagaimana penekanan ideologi negara beringsut dalam periode-periode politik yang berbeda setelah kemerdekaan Indonesia. Begitu juga, tujuan-tujuan pendidikan kewarganegaraan berubah sejalan atau menjawab tekanan-tekanan sosio-ekonomi dan kepentingan-kepentingan politik rezim yang berkuasa.

Pada masa Orde Lama yang ditekankan adalah integrasi nasional, yang oleh Sukarno disebut sebagai ‘nation-building’. Nasionalisme civic (civic nationalism) pada masa ini mendorong rakyat (warganegara) untuk patriotik dan mempertahankan negara yang baru diproklamirkan ini dengan segala upaya. Suharto meneruskan strategi dalam menempa identitas nasional. Akan tetapi, berbeda dengan Orde Lama, rezim Orde Baru menekankan pembangunan ekonomi nasional dan stabilitas ekonomi yang didukung oleh konsep ketahanan nasional. Konsep ini diperkuat oleh instrumen ideologis yang dikenal dengan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (Ekaprasetia Panca Karsa), dan adopsi kembali teori negara integralistik.

Pendidikan kewarganegaraan, misalnya, yang diharapkan dapat menyiapkan siswa-siswa menjadi ‘warganegara yang baik’ mempertautkan isu-isu politik negara seperti nasionalisme, patriotisme dan etika, serta isu-isu religi dan kultural. Beberapa ihwal yang problematis yang dapat kita temukan pada pendidikan itu, antara lain: 1) fokus kepada kontrak-sosial dalam republikanisme, konstitusionalisme dan konsep negara organik fungsionalis-struktural, cenderung melupakan tataran-mikro pada psikologi dan interaksi sosial dan jejaringan kultural (untuk analisis yang lebih mendalam, periksa, sebagai contoh, Kalidjernih 2005). Pada gilirannya, hal ini menciptakan ketidakseimbangan relasi kekuasaan. Pendidikan kewarganegaraan cenderung menjelmah menjadi alat untuk mengontrol warganegara secara ideologis. 2) Pendidikan kewarganegaraan tempat republikanisme Barat yang dire-interpretasikan dan diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lokal cenderung membangkitkan isu-isu yang kontradiktif dan pengetahuan civic yang ambivalen. Kontradiksi juga terjadi karena upaya memaksakan kewajiban-kewajiban dengan serangkaian kepatuhan kolektif melalui nilai-nilai lokal, tradisi dan mitos keberlanjutan sejarah yang tak terputus-putus. 3) Keinginan untuk mendorong kepada suatu ‘identitas nasional’, melalui pendidikan kewarganegaraan di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi sebagai salah satu strategi kunci, ditantang oleh kenyataan bahwa ‘identitas nasional’ Indonesia dalam proses ‘becoming’ daripada ‘being’. Identitas-identitas yang dianggap sesuatu yang ‘tetap’ (fixed) dan stabil, nota bene dimensi-dimensi pengetahuan civic, ternyata adalah dinamis.

Jadi, kembali kepada argumentasikan di atas tentang saling pengaruh antara otoritas negara, struktur dan kultur, dapat secara ringkas dijabarkan sebagai berikut: struktur dan kultur pasca-kolonial memungkinkan rezim membangun hegemoni ideologis, dan mereproduk kultur warganegara melalui jalur pendidikan (antara lain, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Rezim memperlakukan kondisi pasca-kolonial sebagai ‘sumber-daya’ (resources) yang mampu melegitimasi hegemoninya, dan pada saat yang bersamaan mereproduk ‘norma-norma’ yang dituntut untuk dipraktikkan oleh warganegara. Alih-alih memberdayakan warganegara, norma-norma ini (yang dalam ‘kesadaran’ dan ‘di bawah kesadaran’ yang diyakni bagian dari nilai-nilai kultural mereka) mengekang mereka untuk bertindak sebagai ‘warganegara demokratis yang baik’ dalam interaksi sosial dalam konteks masyarakat modern.5

Perspektif konformitas yang dipaksakan sehingga merepresi hak individu dan perbedaan kultural merupakan salah satu contoh yang baik. Hak dan kewajiban warganegara yang diwacanakan sebagai yang diatur oleh hukum hanyalah fiksi, karena kepatuhan bukan kepada hukum, tetapi semata-mata kepada pemegang otoritas. Di samping itu, ihwal jender juga terabaikan. Karena reproduksi struktur sosial dan nilai-nilai kultural tadi, peran perempuan cenderung ‘terhapus’ (annihiliated) dari wacana pendidikan kewarganegaraan. Perempuan cenderung dipotret dengan perspektif ‘tradisi’ (Jawa, terutama) dengan segala ‘kodrat’-nya. Alhasil, partisipasi dalam ruang publik mereka (seperti ranah politik, ekonomi, keagamaan) kecil dan hampir tidak tampak, terkecuali bagi mereka yang dianggap ‘pantas’ di mata rezim.

Pada masa transisi demokrasi, kita dapat melihat konsep-konsep mana yang dipaksakan oleh baik rezim Orde Lama maupun Orde Baru akan terus mempengaruhi kebijakan-kebijakan kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan. Bagaimana rezim-rezim baru mempraktikkan keutamaan-keutamaan civic (civic virtues) yang diproklamirkan pendahulunya, seperti patriotisme, kewajiban, kepatuhan dan konformitas? Sejauh mana rezim-rezim baru mempertahankan atau melepaskan kerangka-kerja kewarganegaraan otoriter? Bagaimana mereka menganggapi isu-isu kewarganegaraan bila dikaitkan dengan perubahan-perubahan lokal dan global dalam semua aspek kehidupan? Sejauh mana pula pendidikan kewarganegaraan (PKn) di era transisi demokrasi– sebagai pendidikan yang bertujuan mengembangkan warganegara yang cerdas dengan kompetensi untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan nasional dan internasional sesuai dengan potensi demokratis dan karakter Indonesia dan negara-negara lain (Departemen Pendidikan Nasional 2002:7) –dapat memberi kontribusi signifikan kepada revitalisasi cita sipil Indonesia pasca-kolonial?

Kita masih perlu menunggu beberapa tahun lagi sebelum mendapat jawaban dan sebelum dapat memberikan penilaian dan apresiasi atas hasil dari perubahan-perubahan yang dilakukan. Dengan segala antusiasme, sementara ini kita hanya dapat diingatkan oleh pepatah yang mengatakan: Don’t count your chicken before they are hatched.

_______________

Catatan:

1Saya menggunakan ‘pasca-kolonial’; bukan ‘pascakolonial’ untuk menunjukkan bahwa di samping diskontinuitas, terdapat kontinuitas dan kemiripan antara apa yang terjadi di masa kolonial dengan masa sesudah kolonial. Untuk ulasan mengenai ‘post-colonial(ism)’ dan ‘postcolonial(ism), periksa, misalnya McClintock (1992); Ashcroft, Griffith dan Tiffin (1989)



2Materi makalah ini—yang draft pertamanya disampaikan penulis pada acara diskusi dengan mahasiswa dan dosen Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung pada tanggal 6 Desember 2007– sebagian besar disadur dan/atau diadaptasi dari bab satu, tiga dan empat disertasi saya (Kalidjernih 2005). Makalah ini tidak dimaksudkan sebagai substitusi baik untuk bab-bab maupun disertasi tersebut. Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada mahasiswa dan dosen Universitas Pendidikan Indonesia atas kritik konstruktif dan saran mereka.



3Penulis adalah Staf Pengajar Luar Biasa, Program Pascasarjana, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia.


4Periksa, misalnya, Purwadi (2001), Winataputra (2000), Suryadi dan Somardi (2000), Azis-Wahab (2000)


5Pemakaian konsep ‘sumber-daya’ dan ‘norma-norma’ saya adopsi dari Giddens (1984), tetapi dengan sedikit modifikasi untuk konteks tulisan ini.







Daftar Rujukan Pustaka



Anderson, B.R.O’G. 1998. ‘From Miracle to Crash’, London Review of Books, 16 April,

3-7.

Ashcroft, B. Griffiths, G. dan Tiffin, H. 1989. The Empire Writes Back: Theory and

Practice in Post-Colonial Literatures, London: Routledge

Azis-Wahab, A. 2000. ‘New Paradigm and Curriculum Design for New Indonesian Civic

Education’, makalah yang disajikan dalam Seminar on the Need for New

Indonesian Civic Education, 29 Maret 2000, Centre for Indonesian Civic

Education.

Benda, H.J. 1958. The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under Japanese

Occupation, 1942-1945, The Hague and Bandung: W. van Hoeve.

Bourchier, D. 1996. Lineages of Organicist Political Thought in Indonesia, disertasi

doktoral yang tidak dipublikasikan, Department of Politics, Monash University,

Australia.

Budiman, A. ed. 1990. State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast

Asia, no. 22, Monash University Press, Clayton, Australia.

Crouch, H. 1980. ‘The New Order: The Prospect for Political Stability’, dalam J.J. Fox,

ed. Indonesia: Australian Perspectives, Research School of Pacific Studies,

Australian National University, Canberra, 657- 667.

Dagger, R. 2002, ‘Republican Citizenship’, dalam E.F. Isin dan B.S. Turner, ed.

Handbook of Citizenship Studies, London: Sage, 145-157.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi:

Mata Pelajaran Kewarganegaraan (Citizenship), Sekolah Dasar dan Madrasah

Ibtidaiyah, Jakarta.

Emmerson, D.K. 1976. Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics, Ithaca:

Cornell University Press.

Feith, H. 1980. ‘Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama,

Kerawanan Baru’, Prisma,11 (November), 69-84.

Geertz, C. 1968. Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia,

Chicago: Chicago University Press.

Geertz, C. 1960. The Religion of Java, New York: The Free Press.

Gellner, E. 1994. ‘Foreword’ dalam A.S. Ahmed dan H. Donnan, ed. Islam,

Globalisation and Postmodernity, London: Routledge, xi-xiv.

Giddens, A. 1984. The Constitutions of Society, Cambridge: Polity Press.

Gouldner, A. 1970. The Coming Crisis of Western Sociology, New York: Avon Books.

Hefner, R.W. 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, Princeton:

Princeton University Press.

Hefner, R.W. 1998. ‘A Muslim Civil Society? Indonesian Reflections on the Conditions

of Its Possibility’, dalam R.W. Hefner, ed. Democratic Civility: The History and

Cross-Cultural Possibility of a Modern Political Ideal, New Brunswick:

Transaction Publishers, 285-321.

Hefner, R. W. 1997. ‘Islamization and Democratization in Indonesia’, dalam R.W.

Hefner dan P. Horvatich, ed. Islam in an Era of Nation-States, Politics and

Religious Renewal in Muslim Southeast Asia, Honolulu: University of Hawaii

Press, 75-127.

Hikam, M.A.S. 1999, Politik Kewarganegaraan: Landasan Redemokratisasi di

Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kahin, G.McT. 1970. Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca: Cornell

University Press.

Kalidjernih, F.K. 2005, Postcolonial Citizenship Education: A Critical Analysis of the

Production and Reproduction of the Indonesian Civic Ideal. Disertasi doktoral

yang tidak dipublikasikan., University of Tasmania, Australia.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia.

Lev, D. S. 1972. Islamic Courts in Indonesia, Berkeley dan Los Angeles: University of

California Press.

Madjid, N. 1987. Islam: Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung: Mizan.

Magnis-Suseno, F. 2000. Kuasa dan Moral, (edisi revisi), Jakarta: Gramedia

Magnis-Suseno, F. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius

McClintock, A. 1992, ‘The Angel of Progress: Pitfalls of the Term “Post-colonialism”’,

Social Text, 31/32 (spring), 84-97.

McVey, R. 1982. ‘The Beamtenstaat in Indonesia’, dalam B. Anderson dan A. Kahin, ed.

Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, Interim

Reports Series (Publication No. 62), Cornell Modern Indonesia Project, Southeast

Asia Program, Cornell University, Ithaca, New York, 84-91.

Purwadi, A. 2001, ‘Citizenship Education for Today and Tomorrow’ makalah yang

disajikan di The International Forum on New Citizenship Education in Asian

Context, Hiroshima, October 29-31.

Rahardjo, M. D. 1999, ‘Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal’,

Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, 1 (2), 7 - 32.

Robison, R. 1982. ‘Culture, Politics, and Economy in the Political History of the New

Order’, dalam B. Anderson dan A. Kahin, ed. Interpreting Indonesian Politics:

Thirteen Contributions to the Debate, Interim Reports Series (Publication no. 62),

Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University

Ithaca, New York, 131-148.

Samson, A. 1978. ‘Conceptions of Politics, Power, and Ideology in Contemporary

Indonesia Islam’, dalam K.D. Jackson dan L.W. Pye, ed. Political Power and

Communications in Indonesia, Berkeley dan Los Angeles: University of

California Press, 196-226.

Schumann, O. 1999. ‘Dilema Islam Kontemporer: Antara Masyarakat Madani dan

Negara Islam’, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, 1 (2), 48-75.

Schwarz, A. 1999. A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability, St. Leonard,

NSW: Allen & Unwin.

Soemardjan, S. 2000. ‘Problems in Cross-Custural Relations’. University of Indonesia

Law Journal, October, 16-35.

Somantri, M.N. 2001. Menggagas Pembaharuan IPS, Bandung: Rosda.

Suryadi, A. dan Somardi, H. 2000. ‘Pemikiran ke Arah Rekayasa Kurikulum Pendidikan

Kewarganegaraan’, makalah yang disajikan dalam Seminar on the Needs

for New Indonesian Civic Education, 29 Maret 2000, Center for Indonesian Civic

Education.

Winataputra, U.S. 2000. ‘New Indonesian Civic Education: A Rationale Building (A

Look-back at the CICED’s National Survey for New Indonesian Civic

Education)’, Center for Indonesian Civic Education.

Yamin, M. 1959. Naskah - Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Siguntang.

Zubaida, S. 1999. ‘Contests of Citizenship: A Comment’. Citizenship Studies, 3

(3), 387-390

PKN DALAM WACANA INTERNASIONAL

Dalam wacana Internasional, PKN disebut dengan NFP (National Forest Programme). Bab 11 (Combating deforestation) dari Agenda 21 http://www.19c.org/habitat/agenda21 dan rencana aksi dari UNCED (the United Nations Conference on Environment and Development) http://www.cie.sin.org/docs/007-585/unced.home.html mengajak setiap Negara untuk mempersiapkan dan mengimplementasikan National Forest Programme. Selanjutnya setiap Negara menyetujui untuk me-review dan jika perlu merevisi tindakan-tindakan dan programprogram yang berhubungan sumber daya hutan dan lahan, serta membangun kebijakan dan perundangan serta mempromosikan perundangan-undangan dan tindakan-tindakan sebagai dasar untuk mengontrol konversi hutan dan semua tipe lahan di masa dating. Dengan demikian semua prinsip dan rekomendasi yang diadopsi dari UNCED dapat dijadikan aksi nyata. Selanjutnya dalam penekanannya dibutuhkan integrasi semua aktivitas tersebut dalam skala global, inter-sektoral dan kerangka kerja partisipatif.
Convention on Biodiversity (CBD) http://www.iisd.ca/linkages/biodiv.html Convention to combat Desertification (CCD) dan Convention on Climate Change (CCC) http://ufcc.int dan Forest Principles http://www.un.org/documents/ga/conf151/aconf15126-3annex3.html telah menyetujui inisiative UNCED untuk merumuskan kriteria dan indicator dari sustainable forest management. Semua difokuskan kepada peningkatan dan penambahan peran aktivitas kehutanan dan kebutuhan untuk memperbaiki perencanaan kehutanan. Pada saat negosiasi antar pemerintah bidang kehutanan, UNCED dilanjutkan dengan IPF dan IFF dengan penekanan peran NFP yang memiliki arti yang sangat penting dalam issue sektor Kehutanan secara global, komprehensif dan multisektor. NFP dimengerti sebagai contry led, sebuah proses partisipatif untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan dan instrument yang effektif dalam mempromosikan pembangunan sektor dalam konteks kebijakan dasar dan strategis dari sustainable development. Keinginan IPF dan IFF komunitas internasional mendukung pembangunan negara-negara yang mereka dukung untuk merumuskan dan mengimplementasi NFP yang berkenaan dengan defenisi prinsip dalam dialog kebijakan internasional.
NFP menyediakan global framework yang dialamatkan kepada issu-issue kehutanan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan. NFP merupakan alat untuk merencanakan, mengimplementasi, dan memonitor kehutanan dan semua aktivitas yang berhubungan dengan kehutanan. NFP mengikuti perencanaan partisipatif dan pendekatan implementasi yang mendorong pelibatan semua forestdependent actors pada tingkat local, nasional dan global dan membangun kerjasama antar semua stakeholders dengan menekankan kepada kedaulatan nasional terhadap hal-hal yang berhubungan dengan manajemen sumber daya hutan dan kebutuhan pemimpin Negara dan responsibility.
Sebagai framework untuk perencanaan, NFP menyediakan orientasi strategis untuk sektor Kehutanan, yang serasi dengan sektor lain dalam kerangka ekonomi nasional
Sebagai framework untuk aksi, NFP menyediakan sebuah lingkungan untuk implemetasi dari program dan aktivitas semua stakeholders yang concerted dan coordinated dengan didasarkan kepada mutually agreed dan strategis.
Pendekatan NFP adalah fleskibel dan dapat diterima dalam situasi yang beragam. Walaupun pada awalnya direncanakan hanya untuk negara-negara tropis dan perencanaan dan implementasi pada level nasional, namun ternyata prinsip dasar dan operational guidelines NFP dapat diaplikasikan pada setiap bentuk hutan dan berdasarkan pada variasi level nasional, internasional dan sub-nasional.
Pemerintah (Nasional) dapat menggunakan framework ini untuk merumuskan perencanaan sektor kehutanan
Pemerintah daerah (decentralized government authorites), sebagaimana partner pemerintah (nasional) seperti community- based organized, organisasi non pemerintah dan sektor swasta, dapat menggunakanya untuk merencanakan dan mengimplementasi aktivitas mereka dalam garis national framework
Institusi internasional dapat menggunakannya untuk menyesuaikan aksi mereka, memperkuat kerjasama dalam bidang Kehutanan dan mempertinggi penggunan manusia dan sumberdaya financial secara effectif dan effesien.
Organisasi regional dan sub-regional dari Negara yang berbeda dengan kesamaan interest dapat menggunakan methodological framework ini untuk merumuskan dan mengimplementasikan secara bersama-sama.
Beberapa international instrument dan legally binding atau non-legally binding terkait dengan NFP antara lain :
UNCED
Forest Principles
Agenda 21
IPF Proposal For Action
IPF 1
IPF 2
IPF 3
IPF 4
IFF Proposal For Action
IFF 3
IFF 4
UNFF
UNFF 1
UNFF 2
CBD
MCPFE

supersemar dalam sejarah

KATA PENGANTAR
Brosur ini menghimpun peraturan-peraturan, instruksi-instruksi, pengumuman-pengumuman dsb. jang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan Surat Perintah Presiden/Pangi ABRI/PBR/Mandataris MPRS tanggal 11 maret 1966.
Berturut-turut dikeluarkan Perintah Harian Presiden/Pangti ABRI/PBR/Mandataris MPRS No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 tentang Pembubaran PKI serta semua organisasi jang seazas/berlindung bernaung dibawahnja dan pernjataan PKI sebagai organisasi terlarang, disusul dengan SERUAN tanggal 14 Maret 1966 agar semua anggota pimpinan, kader-kader dan aktivis-aktivis PKI serta organisasi-organisasi massanja melaporkan diri , dan Instruksi No. 1/3/ TAHUN 1966 agar semua Pimpinan Organisasi-organisasi Politik dan Massa tidak menerima/menampung anggota-anggota ex-PKI serta organisasi-organisasi massanja.
Pada tanggal 12 Maret 1966 dikeluarkan Pengumuman No. 1 jang menegaskan isi Surat Perintah Presiden/Pangti ABRI/PBR/Mandataris MPRS tanggal 11 maret 1966 dan seruan kepada Rakjat untuk membantu Pemerintah dan ABRI, tidak bertindak sendiri-sendiri dan memelihara keamanan/ketertiban umum serta kelangsungan hidup sehari-hari. Disamping itu, diharapkan kepada segenap Pengusaha dibidang produksi, distribusi dan djasa, agar menghindarkan rakjat dari kesulitan ekonomi sehari-hari chususnja di bidang sabdang pangan (Pengumuman No. 2 tanggal 12 Maret 1966). Selandjutnja kepada Pemerintah Daerah diserukan agar memelihara kelantjaran pemerintahan, memelihara keamanan/ketertiban umum, mejelenggarakan kesedjahteraan Rakjat dan memupuk kewaspadaan Rakjat dalam rangka konfrontasi terhadap "Malaysia" (pengumuman No. 3 tanggal 13 Maret 1966). Djuga untuk seluruh apparat Pemerintah ditingkat Pusat dikeluarkan seruan jang serupa (Pengumuman No. 4 tanggal 13 Maret 1966).
Pada tanggal 18 Maret 1966 JM Menteri/PANGAD mengeluarkan Pengumuman No. 1/Peng/1966, dimana dikonstateer adanja gedjala-gedjala kegiatan massa Rakjat jang dapat memberikan kesempatan penunggangan oleh pihak nekolim sehingga perlu diambil tindakan-tindakan tegas jang dapat dipertanggung-djawabkan kepada Presiden/Pangti ABRI/PBR/Mandataris MPRS. Hari itu djuga dikeluarkan Pengumuman No. 5 tertanggal 18 Maret 1966 mengenai tindakan pengamanan terhadap lima belas orang Menteri. Berhubung dengan itu, maka untuk menghindarkan terdjadinja vacuum dalam beberapa bidang pemerintahan dikeluarkan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/PBR/Mandataris MPRS No. 3 dan No. 4/3/1966 tanggal 18 Maret tentang penundjukan Menteri-menteri ad interim.
Sementara itu, dengan mengingat bahwa pendidikan adalah unsur mutlak dalam nation dan character building, maka diinstruksikan kepada pimpinan Sekolah-sekolah, Universitas-universitas dan Perguruan-perguruan Tinggi untuk mulai lagi peladjaran dan kuliah (Instruksi No 2/3/Tahun 1966 tanggal 18 Maret 1966).
Dibidang mass media (radio, televisi dan pers) dikeluarkan Surat Perintah Presiden/Pangti ABRI/PBR/Mandataris MPRS No. 8/3/1966 tanggal 16 Maret 1966, Surat Perintah Kepala Puspenad No. Prin-001/Pus.P/3/1966 tanggal 17 Maret 1966, dan Pengumuman Puspenad No. 001/Sus tanggal 18 Maret serta No. Sus/003 tanggal 23 Maret 1966.
Achirnja pada tanggal 27 Maret diumumkan susunan Kabinet Dwikora jang disempurnakan lagi jang diberi pendjelasan oleh JM Menteri/PANGAD dan Kepres No. 62/1966 tanggal 27 Maret 1966 mengenai pengangkatan Djenderal AH Nasution sebagai Wakil Panglima Besar KOGAM dengan kedudukan Menteri.
Djakarta, 28 Maret 1966
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SURAT PERINTAH
I. Mengingat :
1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun Internasional
1.2. Perintah Harian Panglima Tertingi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966
II. Menimbang : 2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.
2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI dan Rakjat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja
III. Memutuskan/Memerintahkan :
Kepada : LETNAN DJENDERAL SUHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT
Untuk : Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi :
1. Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan peritah dengan Panlima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
Djakarta, 11 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
SUKARNO
PERINTAH - HARIAN
Para Tamtama, Bintara dan Perwira TNI/Agkatan Darat chususnja serta Angkatan Bersendjata pada umumnja :
Rakjat Indonesia jang sangat saja tjintai,
1. Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS Bung Karno jang kita tjintai telah memerintahkan kepada saja, untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar revolusi ;
2. Sungguh suatu tugas dan tanggung djawab jang sangat berat tetapi penuh kehormatan jang pada hakekatnja bukan sekadar bagi saja pribadi, melainkan bagi Angkatan bersendjata dan seluruh Rakjat Indonesia ;
3. Bagi Rakjat, hal ini berarti bahwa suara hati nurani Rakjat jang selama ini dituangkan dalam perdjoangan jang penuh keichlasan, kedjudjuran, heroisme dan selalu penuh tawakal kepada Tuhan Jang Maha Esa, benar-benar dilihat, didengar dan diperhatikan oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno jang sangat kita tjintai dan jang djuga merupakan bukti ketjintaan Pemimpin Besar revolusi kepada kita semua ;
4. Setiap bantuan, dukungan dan ikut-sertanja Rakjat dalam membantu saja hendaknja dilakukan dengan tertib dan tidak bertindak sendiri-sendiri; setiap gerakan dan tindakan dalam rangka bantuan terhadap tugas-tugas berat ABRI hendaknja tetap terpimpin dan terkendali, setiap keinginan dan hasrat hendaknja disalurkan dalam rangka Demokrasi terpimpin;
5. Pertjajakan tugas-tugas tersebut kepada ABRI anak kandungmu; Insja Allah ABRI akan melaksanakan Amanatmu, Amanat Penderitaan Rakjat, jaitu melaksanakan Revolusi kiri kerakjatan Indonesia, dengan tjiri-tjiri anti feodalisme, anti kapitalisme, anti Nekolim dan mewudjudkan masjarakat adil-makmur berdasarkan Pantja-Sila, masjarakat Sosialis Indonesia, jang diridhoi oleh Tuhan Jang Maha Esa dalam taman sarinja satu Dunia Baru tanpa segala bentuk penindasan dan penghisapan;
6. ABRI tidak hendak meng-kanankan Revolusi Indonesia seperti jang dituduhkan oleh benalu-benalu dan tjetjunguk-tjetjunguk Revolusi; ABRI djuga tidak akan membiarkan Revolusi dibawa kekiri-kirian, sebab Revolusi kitang memang sudah kiri. Siapa sadja, golongan mana sadja, jang akan menjelewengkan garis Revolusi, mereka akan berhadapan dengan ABRI, dan akan ditindak oleh ABRI.
7. Para Tamtama, Bintara dan Perwira,
Marilah kita melaksanakan bersama tufas jang dipertjajakan kepadamu, dengan penuh rasa tangung-djawab demi Revolusija Rakjat, dari mana kita dilahirkan, oleh siapa kita dibesarkan, untuk siapa kita mengabdi, untuk siapa pula kita rela untuk mati.
8. Perdjalanan kita djauh, perdjoangan kita belum selesai. Badjakan semangatmu, pertebal imanmu dan pertinggi perngabdianmu kepada Rakjat. Sungguh tgas ini udjian berat bagimu dan Rakjat akan menilai pengabdianmu!
9. Dengan segala kerendahan hati, kita pandjatkan permohonan kehadirat Tuhan jang Maha Esa semoga meridhoi pengabdian kita bersama kepada Tanah Air, Bangsa dan Revolusi;
10. Sekian.
Djakarta, 12 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN
BESAR REVOLUSI/MANDATARIS MPRS
atas nama beliau,
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
KEPUTUSAN PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI No. 1/3/1966
MENIMBANG :
1. Bahwa pada waktu-waktu jang achir ini makin terasa kembali aksi-aksi gelap dilakukan oleh sisa-sisa kekuatan kontra-revolusi "Gerakan 30 September"/Partai Komunis Indonesia;
2. Bahwa aksi-aksi gelap itu berupa penjebaran fitnah hasutan, desas-desus, adu-domba dan usaha penjusunan kekuatan bersendjata jang mengakibatkan terganggunja kembali keamanan Rakjat dan ketertiban;
3. Bahwa aksi-aksi gelap tsb njata-njata membahajakan djalannja Revolusi pada umumnja dan mengganggu penjelesaian tingkat Revolusi dewasa ini, chususnja penanggulangan kesulitan ekonomi dan pengganjangan projek Nekolim "Malaysia";
4. Bahwa demi tetap terkonsolidasinja persatuan dan kesatuan segenap kekuatan progresif-revolusioner Rakjat Indonesia dan demi pengamanan djalannja Revolusi Indonesia jang anti feodalisme, anti kapitalisme, anti Nekolim dan menudju terwudjudnja Masjarakat Adil-Makmur berdasarkan Pantjasila, masjarakat Sosialis Indonesia, perlu mengambil tindakan tjepat, tepat dan tegas terhadap Partai Komunis Indonesia;
MEMPERHATIKAN
Hasil-hasil pemeriksaan serta putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh "Gerakan 30 September"/Partai KomunisIndonesia;
MENGINGAT
Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia/Mandatarais MPRS/Pemimpin Besar Revolusi tanggal 11 Maret 1966 ;
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
Dengan tetap berpegang teguh pada LIMA AZIMAT REVOLUSIINDONESIA :
Pertama :
Membubarkan Partai Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian Organisasinja dari tingkat Pusat sampai kedaerah semua Organisasi jang seazas/berlindung/bernaung dibawahnja ;
Kedua :
Menjatakan Partai Komunis Indonesia sebagai Organisasi jang terlarang diseluruh wilajah kekuasaan Negara Republik Indonesia ;
Ketiga :
Keputusan ini berlaku mulai pada hari ditetapkan.
Ditetapkan di : DJAKARTA
Pada tanggal : 12 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN
BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS
MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
atas nama beliau
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
SERUAN :
1. Menjerukan kepada semua anggota pimpinan, kader-kader dan aktivis-aktivis dari organisasi kontra revolusi Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta organisasi-organisasi massanja jang berazas/bernaung/berlindung dibawahnja untuk masing-masing melaporkan diri kepada PEPELRADA/PEPERDA dan/atau pendjabat-pendjabat jang ditundjuk olehnja, didaerah dimana Saudara-saudara berdiam, selambat-lambatnja sampai achir bulan Maret 1966.
2. Apabila djangka waktu jang telah ditetapkan tidak dipenuhi, maka jang berwadjib akan mengambil tindakan tegas.
Dikeluarkan di : DJAKARTA
Pada tanggal : 14 MARET 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN
BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
atas nama beliau,
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
INSTRUKSI PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
No. : 1/3/TAHUN 1966
KAMI, PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI,
Menimbang :
bahwa demi pengamanan djalannja Revolusi Indonesia maka Organisasi-organisasi partai politik dan Organisasi-organisasi massa jang telah ada berdasarkan peraturan-peraturan jang berlaku, harus bersih dari oknum-oknum kontra-revolusi Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta Orgaisasi-organisasi massanja jang seazas/bernaung/berlindung dibawahnja ;
Mengingat :
1. Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi tanggal 11 Maret 1966;
2. Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966;
3. Penetapan Presiden No. 7 tahun 1950;
4. Penetapan Presiden No. 13 tahun 1960 jo Peraturan Presiden No. 25 tahun 1960;
M E N G I N S T R U K S I K A N :
Kepada : SEMUA PIMPINAN ORGANISASI-ORGANISASI PARTAI POLITIK DAN ORGANISASI-ORGANISASI MASSA
Untuk :
1. Sambil menunggu ketentuan lebih landjut dari Pemerintah, untuk sementara tidak menerima/menampung anggota-anggota ex Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta Organisasi-organisasi massanja jang seazas/bernaung/berlindung di bawahnja;
2. Organisasi-organisasi jang melanggar ketentuan ini akan diambil tindakan tegas;
3. Usahakan setjepat mungkin mengikut-sertakan merela sebagai warga-negara Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam penjelesaian revolusi
4. Selesai
Dikeluarkan di : DJAKARTA
Pada tanggal : 14 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIKINDONESIA/ PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
atas nama beliau,
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
INSTRUKSI PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/ PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/ MANDATARIS MPRS
No. : 2/3/Tahun 1966
1. Demi kelantjaran pelaksanaan Surat Perintah P.J.. Presiden/panglima Tertinggi Angatan Bersendjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS kepada Letnan Djenderal Soeharto Menteri/Panglima Angkatan Darat tanggal 11 maret 1966 dan berhubung dengan telah diambilnja beberapa tindakan dalam rangka mengamankan djalannja Pemerintahan dan Revolusi Indonesia.
2. Mengingat bahwa pada hari-hari achir ini ada Sekolah-sekolah/Universitas-universitas jang mengehntikan peladjaran/kuliah untuk sementara, baik oleh karena Perintah dari jang berwadjib maupun oleh kebidjaksanaan sendiri berhubung dengan keadaan.
3. Mengingat pula bahwa pendidikan adalah bagian mutlak penting dari Nation Building & Character Building bangsa kita.
4. Dengan ini diinstruksikan/diserukan kepada semua pimpinan Sekolah-sekolah/Universitas-universitas/Perguruan-Perguruan Tinggi tsb., untuk membuka/memulai kembali peladjaran/kuliah seperti biasa.
Dengan demikian pendidikan anak-anak kita dapat dilantjarkan kembali dan mengedjar ketinggalan akibat hari-hari dihentikan peladjaran/kuliah selama ini.
5. Kepada PEPELRADA-PEPELRADA/Instansi-instansi Pemerintah setempat jang berwenang diinsruksikan untuk membantu/mengawasi terlaksananja Instruksi/Seruan ini dengan sebaik-baiknja.
6. Selesai.
Dikeluarkan di : DJAKARTA
Pada tanggal : 18 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIKINDONESIA/ PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/ MANDATARIS MPRS
atas nama beliau,
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
SURAT KEPUTUSAN PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ABRI/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
Nomor : 2/3/1966
KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA
TERTINGGI ABRI/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN
BESAR REVOLUSI
MEMBATJA :
Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi tanggal 11 Maret 1966 kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi BAB-III titik : 1 s/d 3.
MENIMBANG :
Pertimbangan Staf Angkatan Darat
M E M U T U S K A N
MENETAPKAN :
Menempatkan dalam djabatan Militer-Militer Sukarela sebagaimana tertjantum namanja masing-masing seperti daftar lampiran Suratkeputusan ini.
Dengan tjatatan, bahwa apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam Surat Keputusan ini, akan diadakan pembetulan seperlunja.
Salinan : Surat Keputusan ini disampaikan kepada jang bersangkutan untuk diketahui dan diindahkan seperlunja, dan kepada :
1. JM. Para MENKO dan Menteri KABINET DWIKORA
2. Distribusi "A" ANGKATAN DARAT
Dikeluarkan di : DJAKARTA
Pada tanggal : 14 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
atas nama beliau,
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
KEPUTUSAN PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
No. 3/3/1966
MENIMBANG: 1. Bahwa berhubung dengan adanja tindakan pengamanan terhadap beberapa orang Menteri, maka djalannja kestabilan Pemerintahan sebagai jang dimaksud dalam Pasal 4 UUD 1945 dan djalannja Revolusi sebagaimana dimaksudkan dalam Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S. tanggal 11 Maret 1966 harus terdjamin;
2. Bahwa oleh karena itu perlu untuk menundjuk Menteri Ad-Interim ;
MENGINGAT:
Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S. tanggal 11 Maret 1966 ;
M E M U T U S K A N :
MENETAPKAN :
Menundjuk Letnan Djenderal TNI HIDAJAT sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi Ad-Interim disamping djabatan Menteri jang dipegangnja selama ini. Keputusan ini berlaku mulai pada hari ditetapkan.
Ditetapkan di : DJAKARTA
Pada tanggal : 18 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
atas nama beliau,
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
KEPUTUSAN PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
No. 4/3/1966
MENIMBANG:
1. bahwa berhubung dengan adanja tindakan pengamanan terhadap beberapa orang Menteri maka kestabilan djalannja pemerintahan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 4 UUD 1945 dan djalannja Revolusi sebagaimana dimaksudkan dalam Surat Perintah PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI tanggal 11 Maret 1966, harus tetap terdjamin ;
2. bahwa oleh karenanja perlu menundjuk Menteri-Menteri jang ada sebagai Menteri ad-interim ;
MENGINGAT :
Surat Perintah PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI tanggal 11 Maret 1966 ;
M E M U T U S K A N
MENETAPKAN : MENUNDJUK MENTERI-MENTERI AD-INTERIM SEBAGAI BERIKUT : Presidium Kabinet :
1. Sultan Hamengkubuwono IX
2. Adam Malik
3. Dr. Roeslan Abdulgani
4. Dr H Idham Chalid
5. Dr J. Leimena
Menteri Luar Negeri dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri :
Dirangkap oleh Menko Adam Malik
Menteri Kehakiman :
Dirangkap oleh Menteri Ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro SH
Menteri Urusan Bank Sentral :
Dirangkap oleh Menko Sumarno SH
Menteri Perburuhan :
Dirangkap oleh Menteri Perkebunan Drs. Frans Seda
Menteri Pertambangan :
Dirangkap oleh Menteri Urusan Minjak dan Gas Bumi Maj. Djen. TNI Dr Ibnu Sutowo
Menteri Listerik dan Ketenagaan :
Dirangkap oleh Menko Ir Sutami
Menteri Pengairan Rakjat dan Pembangunan Masjarakat Desa :
Dirangkap oleh Menteri Pengairan Dasar Ir P.C. Harjasudirja
Menteri Transmigrasi dan Kooperasi :
Dirangkap oleh Menteri Drs A. Sukendro
Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudajaan dan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan :
Dirangkap oleh Menteri Wakil ketua DPRGR, Brigdjen TNI Sjarif Thajeb
Menteri/Sekdjen Front Nasional :
Dirangkap oleh Menteri Wakil Ketua DPRGR Kjai H. Achmad Sjaichu
Menteri Penerangan :
Dirangkap oleh Menteri Ds J. Rumambi
Menteri Dalam Negeri/Gubernur/Kepala Daerah Chusus Ibu KotaDjakarta Raja :
Dirangkap oleh Menteri Urusan Veteran dan Demobilisasi, Maj. Djen. TNI Basuki Rachmat
Surat Keputusan ini berlaku mulai pada hari ditetapkannja.
Ditetapkan di : DJAKARTA
Pada tanggal : 18 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
atas nama beliau,
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
PENGUMUMAN No. 1
Diumumkan, bahwa Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara, dengan surat perintah tanggal 11 Maret 1966, telah memerintahkan kepada Letnan Djenderal TNI SOEHARTO, untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S.,
1. Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintah dan djalannja Revolusi serta mendjamin Keselamatan Pribadi dan Kewibawaan PIMPINAN PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI /PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S., demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala Adjaran PEMIMPIN BESAR REVOLUSI ;
2. MegadakanKoordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-panglima Angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknja.
Maka diharapkan kepada seluruh Rakjat, hendaknja dalam kegiatan membantu Pemerintah dan Angkatan Bersendjata, untuk ;
1. Tidak bertindak sendiri-sendiri, melainkan selalu terpimpin dan terkoordinir; 2. Tteap memelihara keamanan dan ketertiban umum serta kelangsungan hidup sehari-hari.
Insja Allah, tuntutan jang mengandung ungkapan isi hati-nurani Rakjat, jang konstruktif dan tidak merugikan Revolusi, karena memang telah didengar dan diperhatikan oleh PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S./PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT, BUNG KARNO akan ditampung sebaik-baiknja. Semoga Tuhan melindungi dan meridhoi kita sekailan, seluruh Bangsa Indonesia, dibawah Pimpinan PEMIMPIN BESAR REVOLUSI BUNG KARNO, oleh karena kita berada didjalan jang benar.
Djakarta, 12 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
atas nama beliau,
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
PENGUMUMAN No. 3
Dalam rangka pelaksanaan Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/mandataris M.P.R.S., maka kepada Pemerintah daerah, baik ditingkat I, tingkat II, maupun Desa Pradja, dalam hal ini Sapta (Tri) Tunggal, Pantja Tunggal, Tjatur (Tri) Tunggal, supaja tetap memelihara kelantjaran pemerintahan didaerah masing-masing, terutama jag meliputi :
1. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum rakjat, 2. Penjelenggaraan kesedjahteraan rakjat, terutama pangan dan sandang rakjat.
Dengan tetap memupuk kewaspadaan rakjat, dalam rangka konfrontasi terhadap projek nekolim "Malaysia." Pangkal-tolak pengabdian kepada rakjat adalah penting, karena rakjat adalah tempat dari mana kita dilahirkan dan kepada siapa kita mengabdi.
Djakarta, 13 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
atas nama beliau,
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
PENGUMUMAN No. 4
Dalam rangka pelaksanaan Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S. kepada seluruh aparat pemerintahan ditingkat pusat, dibidang masing-masing supaja tetap memelihara kelantjaran pemerintahan, terutama jang meliputi :
1. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum rakjat,
2. Penjelenggaraan kesedjahteraan rakjat terutama pangan dan sandang rakjat.
Dengan tetap memupuk kewaspadaan rakjat, dalam rangka konfrontasi terhadap projek nekolim "Malaysia."
Pangkal-tolak pengabdian kepada rakjat adalah penting karena rakjat adalah tempat dari mana kita dilahirkan dan kepada siapa kita mengabdi.
Djakarta, 13 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S
atas nama beliau,
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
PENGUMUMAN No. 5
1. Bahwasanja kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-undang Dasar 1945 (pasal 4) berada ditangan Presiden Republik Indonesia;
2. Bahwasanja berdasarkan Ketetapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia No. I/MPRS/1960 dan No. II/MPRS/1960 Presiden Republik Indonesia Bung Karno adalah Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS;
3. Bahwasanja Menteri-menteri menurut Undang-undang Dasar 1945 adalah semata-mata hanja pembantu belaka daripada Presiden, dan tiak merupakan bentuk kolektif Pemerintahan, jang Pemerintahan itu berdasarkan pasal 4 Undang-undang Dasar 1945 adalah hanja berada ditangan Presiden;
4. Bahwasanja diantara Menteri-menteri jang kini sedang mendjabat, ada jang merupakan sasaran tuntutan Rakjat, karena penglihatan Rakjat mengenai adanja indikasi tersangkutnja dalam rangkaian kedjadian "Gerakan 30 September" atau setidak-tidaknja diragu-ragukan akan iktikad-baiknja dalam membantu Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS;
5. Bahwasanja "Gerakan 30 September", baik berdasarkan pernjataan dalam Keputusan Presiden No. 370 tahun 1965, maupun berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan dan Putusan mahkamah Militer Luar Biasa serta penilaian Rakjat sendiri, adalah merupakan petualangan kontra-revolusi;
6. Bahwasanja tuntutan Rakjat kepada Menteri-menteri itu harus dihindarkan dari kemungkinan penunggangan oleh kaum kontra-revolusi, gerilja-politik antek-antek "Gerakan 30 September" dan Nekolim;
7. Bahwasanja oleh karena itu, tuntutan Rakjat jang diarahkan kepada Menteri-menteri jang bersangkutan perlu disalurkan dan harus dibatasi dalam proporsi jang sebenarnja dan seharusnja, untuk tidak dikaitkan dengan kedudukan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS;
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, utnuk pengamanan penjelenggaraan Pemerintahan menurut Undang-undang Dasar 1945, jang berada ditangan Presiden, kedudukan Menteri-menteri jang mendjadi sasaran tuntutan Rakjat tadi harus dipisahkan pengkaitannja dari kedudukan Presiden.
Maka demi pengamanan penjelenggaraan Pemerintahan berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 pasal 4 berhubungan dengan pasal 17, serta untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan, kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, terdjaminnja keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi, maka Angkatan Bersendjata Republik Indonesia, dengan kesungguhan hati dan panggilan rasa tanggung-djawabnja harus menampung suara hati-nurani Rakjat jang dikemukakan dengan serta-merta dan djuga diadjukan setjara tertulis jang hakekatnja mentjerminkan permufakatan pendapat, telah terpaksa harus melakukan tindakan pengamanan, dengan maksud agar supaja Menteri-menteri jang dimaksud djustru djangan sampai mendjadi korban sasaran kemarahan Rakjat jang tidak terkendali dan djangan pula tuntutan hati Rakjat itu terlepas daripada iktikad-baiknja.
Tindakan pengamanan itu dilakukan terhadap :
1. Dr Soebandrio;
2. Dr Chairul Saleh;
3. Ir Setiadi Reksoprodjo;
4. Sumardjo
5. Oei Tjoe Tat, S.H.;
6. Ir Surachman;
7. Jusuf Muda Dalam;
8. Armunanti;
9. Sutomo Martopradoto;
10. Astrawinata, S.H.;
11. Maj. Djen. TNI Achmadi;
12. Drs Mohd. Achadi;
13. Let. Kol. Inf. Imam Sjafi-ie;
14. J. Tumakaka;
15. Maj. Djen. TNI Dr Sumarno.
Demikian tindakan jang telah diambil dan dipertanggungan-djawabnja kepada Rakjat. Hendaknja Rakjat mengetahui, memahami dan tidak mengambil tindakan sendiri-sendiri.
Djakarta, 18 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/MANDA- TARIS MPRS/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI
atas nama beliau,
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
P E N G U M U M U M A N
No. : 1/Peng/1966
Menteri/Panglima Angkatan Darat, mengkonstatir adanja gedjala-gedjala kegiatan massa rakjat, jang dapat memberikan kesempatan penunggangan oleh fihak Nekolim, hingga karenanja dapat membahajakan keamanan dan ketertiban umum, - pun pula dapat membahajakan djalannja Revolusi dan kepemimpinan Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno.
Dalam hubungannja dengan gedjala-gedjala itu, harus pula ditjegah tindakan-tindakan pasukan jang tidak terkendalikan.
Maka, berdasarkan Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/mandataris MPRS, tertanggal 11 Maret 1966, perlu segera mengambil tindakan-tindakan tegas, jang dapat dipertanggung-djawabkan kepada Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpi Besar Revolusi/Mandataris MPRS.
Djakarta, 18 Maret 1966
MENTERI/PANGLIMA ANGKATAN DARAT,
SOEHARTO
SURAT -PERINTAH Nomor : 8/3/1966
PRESIDEN/PANGLIMATERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/ MANDATARIS MPRS
DASAR :
Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S. tanggal 11 Maret 1966.
MENIMBANG :
Bahwa perlu adanja penertiban dalam soal-soal mass-media baik jang bersifat lokal maupun nasional.
MEMERINTAHKAN :
KEPADA :
1. BRIGDJEN TNI IBNUSUBROTO KA PUSPEN AD.
2. PAPELRADA-DJAJA
3. DIREKTUR PERHUBUNGAN AD.
4. KOLONEL HARSONO DEP. PENERANGAN R.I.
UNTUK :
1. Mengkoordinir dan menertibkan soal-soal mass-media, untuk ini Radio, T.V. dan Pers.
2. Tersebut No. ad 1 diatas (BRIGDJEN TNI IBNUSUBROTO) ditundjuk sebagai Koordinator.
3. Melaksanakan Perintah ini dengan penuh rasa tanggung-djawab, dan melaporkan hasilnja setelah selesai dikerdjakan.
4. Perintah ini berlaku sedjak dikeluarkan.
5. Selesai.
Dikeluarkan di : DJAKARTA
Pada tanggal : 16 maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENDJATA REPUBLIK INDONESIA/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
atas nama beliau,
SOEHARTO
LETNAN DJENDERAL TNI
SURAT-PERINTAH Np. : PRIN-001/PUS.P/3/1966
KEPALA PUSAT PENERANGAN ANGKATAN DARAT
selaku
KOORDINATOR/PENERTIB MASS-MEDIA
DASAR : 1. Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/mandataris MPRS tanggal 11 Maret 1966 2. Surat Perintah MEN/PANGAD Let. Djen. Suharto atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, No. : 8/3/1966 tanggal 16 Maret 1966.
PERTIMBANGAN :
Perlu melaksanakan Surat Perintah tersebut diatas.
MEMERINTAHKAN
KEPADA :
1. DIREKTUR DJENDERAL R.R.I. PUSAT
2. DIREKTUR T.V.R.I.
UNTUK : I. Hanja menjiarkan segala siaran-siaran kata dalam bidang politik, ekonomi dan militer jang telah mendapat persetudjuan dari Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat selaku Koordinator/Penertib Mass-Media.
II. Segala sesuatunja mengenai pemberitaan/pekabaran/siaran dilaorkan setjara periodiek kepada Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat selaku Koordinator/Penertib Mass-Media.
III. Perintah ini berlaku sedjak tanggal dikeluarkan.
IV. Selesai.
Dikeluarkan di : DJAKARTA
Pada-tanggal : 17-3-1966
Pada - djam : 18.00
KEPALA PUSAT PENERANAN ANGKATAN DARAT
selaku,
KOORDINATOR/PENERTIB MASS-MEDIA
IBNUSUBROTO
BRIGADIR DJENDERAL TNI
Nomor : 001/SUS Tanggal : 18 Maret 1966
PUSAT PENERANGAN ANGKATAN DARAT MENGUMUMKAN SEBAGAI BERIKUT :
Berdasarkan surat perintah Menteri/Panglima Angkatan darat Letnan Djenderal Soeharto atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi nomor 8/3/1966, tertanggal 16 Maret 1966, maka sedjak dikeluarkannja perintah tersebut, soal-soal mass-media dalam berita RRI-TV, TVRI dan Pers berada dalam asuhan, koordinasi dan pengawasan Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat Brigadir Djenderal Ibnusubroto selaku koordinator/penertib mass-media.
DEMIKIAN PUSAT PENERANGAN ANGKATAN DARAT.
PIDATO PENDJELASAN WAPERDAM A.I./MEN-PANGAD
LETNAN DJENDERAL SUHARTO, DISIARKAN MELALUI
R.R.I. PADA TANGGAL 27 MARET 1966
Saudara-saudara sebangsa dan setanah-air,
Sedjak dikeluarkannja Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS tanggal 11 Maret 1966 jang lalu kepada kami, jang pada pokoknja berisi Perintah untuk mengambil segala tindakan jang perlu guna mengamankan djalannja Revolusi, maka kebidjaksanaan itu mendapat sambutan jang luar biasa dari Rakjat dan sangat melegakan hati. Kami kemudian segera mengambil langkah-langkah jang perlu demi pengamanan djalannja revolusi, berdasarkan garis adil dan benar daripada Tri Tuntutan Rakjat berdasarkan garis Revolusi adjaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno jang melandaskan diri pada kekuatan Rakjat, dan mengabdikan diri kepada tuntutan hati-nurani Rakjat. Dalam amanat 17 Agustus 1965 "Tahun Berdikari", Bung Karno telah memperingatkan : "Kesalahan kaum imperialis dan kaum reaksioner adalah meremehkan kekuatan rakjat djelata". Tntutan rakjat djelata harus mendjadi pedoman tindakan kita seperti jang sudah ditegaskan oleh PBR Bung Karno dalam Deklarasi Ekonomi : "Sesuai dengan pertumbuhan kesadaran sosial dan kesadaran ekonomi Rakjat Indonesia, maka tiap konsepsi dan tindakan Pemerintah harus dapat dirasakan dan dimengerti oleh Rakjat, bahwa kepentingan mereka diperhatikan". Dengan segala kesungguhan hati dan penuh rasa tanggung-djawab, kami, dengan dukungan Rakjat, telah membubarkan Partai Komunis Indonesia dan mengambil tindakan kepada sedjumlah Menteri dan pedjabat-pedjabat lain, jang tjukup ada indikasi hubungannja dengan PKI/Gestapu, mereka jang diragu-ragukan iktikad-baiknja dalam membantu Presiden/Pangti ABRI/PBR Bung Karno dan mereka jang telah setjara a-moral dan a-sosial hidup bermewah-mewah diatas beban pundak Rakjat jang dideritakan karenanja.
Saudara-saudara, ABRI menjadari bahwa tindakan jang telah diambil itu baru merupakan pelaksanaan sebagian dari Tri Tuntutan Rakjat. Dan ABRI menjadari pula sepenuhnja bahwa Rakjat ini sedang dengan harap-harap tjemas memperhatikan, apakah suara hatinja untuk perbaikan kehidupan sosial-ekonomi akan dapat dipenuhi. Salah satu alat untuk melaksanakan perbaikan kehidupan sosial-ekonomi itu adalah pembentukan Kabinet Baru, jang dipertjajakan oleh Rakjat dan mampu melaksanakan segala programnja.
Dengan penuh perhatian dan tetap berpegang teguh pada Amanat Rakjat, baik jang disalurkan melalui wakil-wakilnja dalam MPRS, DPR-GR, Front Nasional, maupun pernjataan-pernjataan langsung jang mereka berikan melalui Ormas/Orpol/Organisasi-organisasi lain, maka ABRI berkesimpulan bahwa Kabinet jang baru ini haruslah :
1. Mengenai struktur Kabinet : Sederhana, riil/rasionil, mudah dikendalikan, tidak bersimpang-siur, tegas tugas masing-masing Menteri, effisien dan efektif dan mampu melaksanakan programnja.
2. Mengenai menteri-menteri : Djudjur, tjakap, kompak, dipertjaja oleh Rakjat karena membela Rakjat, revolusioner, pantja Sila sedjati dan bukan antek-antek PKI/Gestapu atau petualang plintat-plintut dlsb.
3. Mengenai program Kabinet : Mampu mengusahakan dan mewudjudkan dalam waktu singkat kesedjahteraan Rakjat, terutama sandang-pangan, berani mengganjang segala bentuk kontra-revolusi dan penjelewengan; serta sedjauh kemampuan dan keuatan tetap meneruskan konfrontasi terhadap :Malaysia"/Nekolim dan menjelenggarakan Conefo.
Rakjat emoh pemimpin-pemimpin gadungan. Biar nasib mereka akan ditentukan oleh prosesnja hukum revolusi dan pengadilan revolusi.
Saudara-saudara jang kami tjintai, hanja Kabinet jang demikian itu akan mendapatkan dukungan dan bantuan Rakjat dan mampu membawa Revolusi kita kearah mertjusuar dunia, sebab dasar dan tudjuan revolusi kita memang bersemajam dalam hati-nurani ummat. Manusia. Kita pasti mendjadi bangsa jang besar, karena kita berkepribadian berani melihat kenjataan dan berani berdiri diatas kaki sediri.
Rakjat perlu menjadari, bahwa memperdjuangkan prinsip-prisnip diatas adalah merupakan pula satu perdjuangan tersendiri. Dan susunan Kabinet jang baru dapat ditjapai sekarang ini adalah tahap pertama dan maksimal jang dapat kita tjapai hingga dewasa ini, tetapi hendaknja merupakan tahap dari suatu rangkaian tahap kemenangan perdjuangan jang akan datang. Meskipun demikian, dalam kemungkinan belum kesempurnaannja menurut tanggapan penglihatan Rakjat, semoga Kabinet ini dalam mengemban Amanat Penderitaan Rakjat selalu membuka kontrol dan support sosial jang diiringi dengan rasa tanggung-djawab Rakjat karena memang Rakjat bersama-sama berada dalam perdjuangan kita. Demokrasi tanpa pimpinan berarti anarchi, sebaliknya Pimpinan tanpa Demokrasi berarti Diktator. Lembaga-lembaga Demokrasi kita, MPRS dan DPR-GR hendaknja benar-benar merupakan tersalurnja dan terudjudnja keinginan Rakjat, agar rakjat tidak lagi bergerak sendiri-sendiri. Djiwa Demokrasi menurut Undang-undang dasar 1945 adalah a-priori persatuan, musjawarah untuk ufakat dengan hikmah kebidjaksanaan dan samasekali bukan siasat-siasatan untuk kepentingan golongan atau ambisi pribadi.
Saudara-saudara jang kami hormati,
Dengan rasa tanggung-djawab jang demikian itu hendaknja Rakjat dalam melakukan penjorotan, memberikan kesempatan bekerdja kepada Kabinet ini. Dalam hubungan itu, ABRI, anak kandung Rakjat pasti selalu dipihak Rakjat.
Perdjoangan kita masih djauh. Meskipun demikian, fadjar harapan kemenangan sudah mulai nampak.
Semoga Tuhan meridhoi dan melindungi perdjuangan kita bersama. Sekian dan terimakasih.
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA No. 62 TAHUN 1966
KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MENIMBANG : 1. bahwa untuk lebih meningkatkan dan mensukseskan pelaksanaan Dwikora, chususnja pengganjangan projek NEKOLIM "Malaysia" sesuai dengan situasi dan tingakt revolusi dewasa ini, perlu segera mengangkat Wakil Panglima Besar Komando Ganjang Malaysia (Wapangsar KOGAM);
2. bahwa agar supaja Wakil Panglima Besar Komando Ganjangmalaysia tersebut diatas dapat menunaikan tugas kewadjibannja seefektif mungkin, perlu memberikan kedudukan Menteri kepadanja ;
MENGINGAT : 1. Pasal 4 ajat 1 dan pasal 10 Undang-undang Dasar tahun 1945;
2. Keputusan Presiden No. 40 tahun 1966;
MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN : PERTAMA : Terhitung mulai pada tanggal keputusan ini ditetapkan, mengangkat DJENDERAL TNI Dr ABDUL HARIS NASUTION sebagai Wakil Panglima Besar Komando Ganjang malaysia (Wapangsar KOGAM), dengan diberikan kedudukan sebagai Menteri;
KEDUA : Keputusan ini mulai berlaku pada hari ditetapkan; dengan tjatatan, bahwa apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan didalam keputusan ini, akan diadakan pembetulan seperlunja.
Ditetapkan di Djakarta
Pada tanggal 27 Maret 1966
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SUKARNO
PENGUMUMAN KEPALA PUSPENAD
No. Sus/006/28-3-1966
Kepala Pusat Penerangan Angkaatn darat, Brigadir Djenderal TNI Ibnusubroto mengumumkan sbb;
I. Salah satu tugas jang dibebankan kepada Letnan Djenderal TNI Soeharto, Menteri/Panglima Angkatan Darat, seperti tertjantum dalam Surat Perintah Presiden/Pangti/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS tanggal 11 Maret 1966, adalah mendjamin keselamatan Pribadi Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, Bung Karno
II. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Men/Pangad Letnan Djenderal TNI Soeharto telah mengadakan musjawarah dengan Panglima-panglima Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian, janga pada tanggal 22 Maret 1966 telah menghasilkan mengeluarkan suatu Keputusan bersama No. 6/3/1966 dari keempat Menteri Panglima Angkatan, jang masing-masing ditanda-tangani oleh Men/Pangad Letnan Djenderal TNI Soeharto, Men/Pangal Laksamana Muda Laut Moeljadi, men/Pangau care-taker Komodor Udara Roesmin Nurjadin dan Men/Pangak Komisaris Djenderal Sutjipto Judodihardjo.
III. Dalam keputusan bersama tersebut keempat Menteri Panglima Angakatn berpendapat, bahwa tugas mendjamin keselamatan Pribadi Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS jang kini dibebankan kepada Kesatuan Chusus/Resimen Tjakrabirawa, sementara sambil menunggu tersusunnja Kesatuan pengawalan jang baru, perlu diserahkan kepada Angkatan Darat. Djuga keempat Menteri Panglima Angkatan bersepakat untuk menarik kembali semua anggauta Angkatan jang ditugaskan dalam resimen Tjakrabirawa setelah Angkatan darat menjatakan siap untuk melaksanakan tugas mendjamin keselamatan tersebut diatas.
Selandjutnya Menteri-menteri Panglima Angkatan Laut, Udara dan kepolisian telah bersepakat untuk dengan sepenuh hati membantu Angkatan Darat dalam pelaksanaan tugas pengamanan ini.
IV. Sebagai realisasi daripada Keputusan bersama keempat Menteri Panglima Angkatan itu, maka pada hari Senen pagi pada tanggal 28 Maret 1966 bertempat di lapangan appel Markas Besar Direktorat Polisi Militer, Djl. Merdeka Timur Djakarta, telah dilakukan serah-terima tugas mendjamin keselamatan Pribadi Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/MandatarisMPRS beserta keluarganja, dari Brigadir Djenderal TNI Moh. Sabur kepada Brigadir Djenderal TNI Soedirgo, Direktur Polisi Militer (DIRPOM).
V. Sebagai pelaksana dari tugas pengamanan tersebut, Dirpom telah menugaskan Bataljon Para Polisi Militer dengan Komandannja Letnan Kolonel CPM NORMAN SASONO.
VI. Karena tugas mendjamin keselamatan Pribadi Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/mandataris MPRS adalah kewadjiban dari seluruh Rakjat Indonesia jang progresif-revolusioner, maka TNI/Angkatan darat berkejakinan, bahwa dalam melaksanakan tugas mendjamin keselamatan inipun pasti mendapat dukungan dan bantuan sepenuhnja dari segenap lapisan dan golongan masjarakat jang progresif-revolusioner.

PENTINGNYA MEMAHAMI SILA-SILA PANCASILA BERSIFAT KESATUAN ORGANIS BAGI CALON GURU PKn

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Merekahnya matahari bulan Juni 1945, 63 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya sebuah konsepsi kenengaraan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila. Baik disadari atau tidak, dan baik diakui atau tidak, bersamaan dengan demikian banyak perbaikan yang dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional sejak tahun 1998, juga muncul berbagai kemunduran dalam berbagai bidang, yang dapat menyebabkan kita bertanya-tanya kepada diri kita sendiri: hendak kemanakah Republik ini hendak dibawa?
Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia

B. Rumusan Masalah
Mengapa memahami sila-sila pancasila bersifat kesatuan organis penting bagi calon guru PKn ?

BAB II
SILA-SILA PANCASILA BERSIFAT KESATUAN ORGANIS

A. Pengertian sila-sila pancasila bersifat kesatuan organis
Kelima sila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat berdiri sendiri-sediri terlepas dari yang lain, masig-masing mempunyai hubungan yang erat. Kesatuan pancasila yang bersifat organis, pada hakekatnya secara filosofis bersumber pada hakikat dasar antologis manusia sebagai pendukung ari inti, isi dari sila-sila pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis, yang memiliki unsur-unsur ‘susunan kodrat’ jasmani-rohani, ‘sifat kodrat’, individu mahluk sosial, dan ‘kedudukan kodrat’ sebagai pribadi sendiri- makhluk tuhan yang maha esa.
Sila pertama, Ke-Tuhanan yang Maha Esa adalah pengakuan Negara terhadap agama dan kepercayaan yang dianut oleh Rakyat Indonesia, yang dewasa ini diakui sebagai salah satu non-derogable rights. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan landasan bagi dan pengukuhan terhadap berbagai instrumen hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, merupakan pengukuhan terhadap rangkaian panjang proses pembentukan Bangsa Indonesia serta terhadap pembentukan sebuah negara nasional Indonesia, yang memberi tempat kepada seluruh bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk dari segi ras, etnik, serta golongan. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan adalah merupakan penegasan terhadap asas kedaulatan rakyat dan mekanisme pengambilan keputusan politik.

B. Sejarah latar belakang sila-sila pancasila bersifat kesatuan organis
a) Sila Katuhanan Yang Maha Esa
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manuasia percaya dan taqwa terhadap Tuhan YME sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b) Sila kemanusian Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan yang adil dan beradab menunjang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan –kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkanlah sikap hormat dan bekerja sama dengan bangsa–bangsa lain.
c) Sila Persatuan Indonesia
Dengan sila persatuan Indonesia, manusia Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan. Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa.
d) Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan
Manusia Indonesia menghayati dan menjungjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang bersangkutan harus menerimannya dan melaksanakannya dengan itikad baik dan penuh rasa tanggung jawab. Disini kepentingan bersamalah yang diutamakan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan diberikan kepada wakil-wakil yang dipercayanya.
e) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkan perbuatannya yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong.
Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga kesinambungan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.

C. Konsep sila-sila pancasila bersifat organis
Menjelang timbulnya berbagai wujud reinterpretasi dan rekonstruksi lainnya, penulis menawarkan suatu paradigma fungsional Pancasila, yang bertumpu pada kenyataan bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu kategori yang sama, dan bahwa kelima sila tersebut dapat dikembangkan menjadi bagian-bagian dari suatu paradigma yang fungsional, dan sesuai dengan perkembangan dan komitmen mutakhir Republik Indonesia dalam melindungi, menghormati, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia. Sila pertama, Ke-Tuhanan yang Maha Esa adalah pengakuan Negara terhadap agama dan kepercayaan yang dianut oleh Rakyat Indonesia, yang dewasa ini diakui sebagai salah satu non-derogable rights. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan landasan bagi dan pengukuhan terhadap berbagai instrumen hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, merupakan pengukuhan terhadap rangkaian panjang proses pembentukan Bangsa Indonesia serta terhadap pembentukan sebuah negara nasional Indonesia, yang memberi tempat kepada seluruh bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk dari segi ras, etnik, serta golongan. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan adalah merupakan penegasan terhadap asas kedaulatan rakyat dan mekanisme pengambilan keputusan politik.
Susunan Kesatuan Sila-Sila Pancasila Yang Bersifat Organisasi sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan peradaban, dalam arti, setiap sila merupakan unsur (bagian yang mutlak) dari kesatuan Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila merupakan suatu kesatuan yang majemuk tunggal, dengan akibat setiap sila tidak dapat berdiri sendiri-sendiri terlepas dari sila-sila lainnyawww

BAB III
CALON GURU BIDANG STUDI PKn

A. Kompetensi Guru PKn
Standardisasi Kompetensi Guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan bagi seorang guru dalam menguasai seperangkat kemampuan agar berkelayakan menduduki salah satu jabatan fungsional Guru, sesuai bidang tugas dan jenjang pendidikannya. Persyaratan dimaksud adalah penguasaan proses belajar mengajar dan penguasaan pengetahuan. Adapun empat kompetensi guru menurut UU RI No. 14 Tahun 2005 yaitu:
1. Kompetensi Pedagogik. Pemahaman wawasana atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum/silabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan pembelajararan yang mendidik dan dialogis, pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi hasil belajar, pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2. Kompetensi Kepribadian. Mantab, berakhlak mulia, arif dan bijaksana, berwibawa, stabil, dewasa, jujur, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri, mengembangkan din secara mandiri dan berkelanjutan.
3. Kompetensi Sosial. Berkomunikasi lisan, tulisan, isyarat: menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua wali peserta didik, bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku, menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
4. Kompetensi Profesional. Kemampuan guru dalam pengetahuan isi (content knowledge) penguasaan: materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran. atau kelompok mata pelajaran yang diampu, konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan. yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, atau kelompok mata pelajaran yang diampu.

B. Kurikulum PKn
Ada 4 bagian penting dalam kurikulum meliputi: tujuan, isi/materi, strategi pembelajaran, dan evaluasi. Ke-4 bagian/komponen penting kurikulum ini saling berkaitan dan berinteraksi untuk mencapai perilaku yang diinginkan/dicita-citakan oleh tujuan pendidikan nasional, yang kemudian dejelaskan sebagai berikut:
1. Tujuan yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula dalam memilih isi/materi yang harus dikuasai, strategi yang akan digunakan serta bentuk dan alat evaluasi yang tepat untuk mengukur ketercapaian kurikulum.
2. Materi/isi kurikulum menurut Saylor dan Alexander adalah fakta-fakta, observasi, data, persepsi, penginderaan, pemecahan masalah yang berasal dari pikiran manusia dan pengalamannya yang diatur dan diorganisasikan dalam bentuk konsep, generalisasi, prinsip, dan pemecahan masalah.
3. Strategi pembelajaran berkaitan dengan bagaimana menyampaikan isi/materi kurikulum agar tujuan tercapai.
4. Komponen evaluasi kurikulum adalah untuk menilai apakah tujuan kurikulum telah tercapai. Hasil dari evaluasi kurikulum adalah berupa umpan balik apakah kurikulum ini akan direvisi atau tidak.
Adapun pengembangan kurikulum dan pembelajaran PKn dalam persekolahan di negara kita, nama mata pelajaran PKn SMP/SMA pernah muncul dalam kurikulum tahun 1957 dengan istilah Kewarganegaraan yang merupakan bagian dari mata pelajaran Tata Negara. Kemudian, pada tahun 1961 muncul istilah civics dalam kurikulum sekolah di Indonesia. Pada tahun 1968, mata pelajaran Civics berubah nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) atau Civic Education. Dalam kurikulum 1975 nama mata pelajaran PKN berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP), kemudian dalam kurikulum 1994 berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Selanjutnya, dalam kurikulum tahun 2004 nama mata pelajaran PPKn berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Mata pelajaran PKn sangat esensial diberikan di persekolahan di negara kita sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil dan berkarakter (National Character Building) yang setia dan memiliki komitmen kepada bangsa dan negara Indonesia yang majemuk. Selain itu, pentingnya mata pelajaran PKn diberikan di sekolah adalah dalam rangka membina sikap dan perilaku siswa sesuai dengan nilai moral Pancasila dan UUD 1945 serta menangkal berbagai pengaruh negatif yang datang dari luar baik yang berkaitan dengan masalah ideologi maupun budaya.
BAB IV
PENTINGNYA MEMAHAMI SILA-SILA PANCASILA BERSIFAT ORGANIS BAGI CALON GURU PKn

Pemahaman sila-sila pancasila bersifat kesatuan organis sangat penting dipahami semua warga Negara Indonesia, karena kelima sila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat berdiri sendiri-sediri terlepas dari yang lain, masig-masing mempunyai hubungan yang erat. Kesatuan pancasila yang bersifat organis, pada hakekatnya secara filosofis bersumber pada hakikat dasar antologis manusia sebagai pendukung ari inti, isi dari sila-sila pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis, yang memiliki unsur-unsur ‘susunan kodrat’ jasmani-rohani, ‘sifat kodrat’, individu mahluk sosial, dan ‘kedudukan kodrat’ sebagai pribadi sendiri- makhluk tuhan yang maha esa.
Pancasila memiliki potensi menampung keadaan pluralistik masyarakat Indonesia yang beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan. Pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menjamin kebebasan untuk beribadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Kemudian pada Sila Persatuan Indonesia, mampu mengikat keanekaragaman dalam satu kesatuan bangsa dengan tetap menghormati sifat masing-masing sepert apa adanya.
Oleh karena itu, sila-sila pancasila bersifat organis sangat perlu dipahami oleh seorang guru PKn. Tanpa memahami sila-sila pancasila bersifat organis, maka seorang guru tidak memiliki jiwa pratiotisme dan tidak memilki jiwa pancasila. Maka dari itu seorang guru PKn harus memahami isi dan makna dari pancasila itu sendiri, semakin hari semakin banyak manusia yang dilahirkan maka semakin banyak pula nilai-nilai tersebut yang mengandung jiwa-jiwa patriotisme semakin terkikis. Hal tersebut menuntut para pendidik, pembimbing dan penggagas kemajuan dan kesejahteraan negeri ini untuk bangkit. Bersama-sama berjuang untuk menjadikan dan mewujudkan cita-cita Negara yang sejahtera, adil dan makmur seperti yang dicantumkan dalam UUD 1945 yang diikrarkan para proklamator hampir 64 tahun silam. Kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran inilah yang seharusnya mulai ditanamkan sejak dini melalui pendidikan yang bisa membawa mereka mewujudkan cita-cita Negara yang mulia tersebut.
Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu seorang calon guru, lebih khusus calon guru PKn, pentingya memahami Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah:
1. Untuk memahami sejarah dan konsep Pancasila sebagai ideologi atau dasar negara Indonesia.
2. Untuk mengetahui lebih mendalam serta lebih detail tentang sila-sila Pancasila bersifat organis.
3. Agar seorang calon guru PKn memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang sila-sila pancasila bersifat kesatuan organis dan punya rasa percaya diri yang tinggi saat menyampaikan materi di depan kelas.
4. Agar seorang calon guru PKn memiliki rasa nasionalisme yang besar.
5. Agar seorang calon guru PKn menjadikan nilai-nilai dalam Pancasila sebagai dasar atau pedoman saat menyampaikan materi di depan kelas.
BAB V
KESIMPULAN

Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar egara Republik Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan egara Republik Indonesia. Maka manusia Indonesia menjadikan pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kengaraan. Oleh karena itu pengalamannya harus dimulai dari setiap warga egara Indonesia, setiap penyelenggara egara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengalaman Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik dipusat maupun di daerah.
Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Maka manusia Indonesia menjadikan pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kengaraan. Oleh karena itu pengalamannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengalaman Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik dipusat maupun di daerah.
Pentingnya seorang calon guru PKn memahami Pancasila sebagai ideologi negara adalah agar seorang calon guru PKn memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Sila-Sila Pancasila kesatuan orgais dan punya rasa percaya diri yang tinggi saat menyampaikan materi di depan kelas.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, Roeslan.1988. Pancasila Perjalanan Sebuah Ideologi.PT.Grasindo: Jakarta.

CST, Kansil. 1994. Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi). Pradnya Paramita: Jakarta.

Syarbaini, S. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.

NN. Tanpa Tahun. Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila. Sekretariat Negara Republik Indonesia Tap MPR No. II/MPR/1987.

http://www.puskur.net/produkpuskur/form/upload/48_kajian%20kebijakan%20kurikulum%20PKn.pdf. Tanggal Rabu, 26 Mei 2010 jam 14:00
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/21/kompetensi-guru-dan-peran-kepala-sekolah. Tanggal Rabu, 26 Mei 2010 jam 14:30
http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat, Tanggal Senin, 01 Juni 2010 pukul 19:10

http://kampusciamis.com/content/view/149/117/ Tanggal Selasa, 02 Juni 2009 pukul 19:10