Senin, 19 Juli 2010

kuliah umum

Cita Sipil Indonesia Pasca-kolonial1:
Masalah Lama, Tantangan Baru2
Freddy K. Kalidjernih3

Abstrak

Makalah ini membahas beberapa aspek historis dan politis formulasi cita sipil (civic ideal) Indonesia, khususnya dikaitkan dengan pendidikan kewarganegaraan. Dengan mengambil perspektif pasca-kolonial, saya ingin berargumen bahwa pelbagai masalah sudah melekat sejak formulasi cita sipil itu dilakukan dan terus mempengaruhi pendidikan kewarganegaraan Indonesia selama enam dasawarsa terakhir. Faktor otoritas negara—yang dominan– dalam mengkonstruk cita sipil Indonesia pasca-kolonial hanyalah satu determinan. Hegemoni ideologis rezim dapat terwujud karena saling pengaruhnya dengan dua faktor utama lain, yakni struktur dan kultur pasca-kolonial. Oleh karena itu, ketiga aspek ini akan tetap menjadi tantangan dalam merevitalisasi cita sipil melalui formulasi pengetahuan kewarganegaraan Indonesia, khususnya melalui pendidikan formal kewarganegaraan, kini dan masa depan.

Otoritas Negara bukan Satu-satunya Determinan

Pendidikan kewarganegaraan Indonesia zaman Orde Baru (1966-1998) dikritik karena tidak atau kurang merefleksikan cita sipil yang demokratis.4 Anggapan selama ini adalah bahwa kekeliruan itu bersumber pada otoritas negara (state agents) melalui indoktrinisasi politik yang berlebihan. Setelah pelengseran rezim otoriter, yakni ketika indoktrinisasi sudah tidak terdengar lagi, timbul harapan besar bahwa kehidupan berbangsa akan semakin demokratis. Di era ‘reformasi’, wacana kewarganegaraan baru meletakkan pengakuan atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam masyarakat pluralis yang demokratis. Atau dengan kata lain, perjuangan dan pemerolehan hak sipil, hak asasi manusia dan keadilan sosial dan politik diyakini akan lebih mudah dicapai. Upaya itu diwujudkan, misalnya, melalui amendemen Undang Undang Dasar 1945 dan keinginan untuk merevitalisasi Pancasila. Akan tetapi, setelah hampir sewindu, kelihatannya harapan ini tidak begitu tampak, terkecuali pada aspek kebebasan berekspresi dimana kesempatan yang tersedia memang juah lebih luas (tidak terkekang) dibandingkan dengan kesempatan pada masa rezim otoriter. Di lain pihak, di era ‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia justru dihadapkan pada pelbagai fenomena yang mempengaruhi kewarganegaraannya, seperti rasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitaslisasi cita sipil, khususnya melalui pendidikan kewarganegaraan.

Sekalipun peran rezim otoriter dalam menyumbangkan kelemahan pendidikan kewarganegaran memang sangat dominan, menurut hemat saya analisis mengenai indoktrinisasi politik dan hegemoni ideologis rezim tersebut harus dikontekstualisasikan ke dalam lingkungan Indonesia pasca-kolonial. Indoktrinisasi tidak terjadi dalam kevakuman. Tidak cukup menunjukkan kelemahan kewarganegaraan rezim otoriter yang hanya disebabkan oleh indoktrinisasi. Pertanyaan yang lebih penting yang semestinya diajukan adalah bagaimana dan dalam kondisi apa indoktrinisasi itu dimungkinkan. Dengan menjelajahi kondisi-kondisi ini kita dapat mengidentifikasikan lebih baik isu-isu inheren yang dikonstruk melalui teori, konsep dan perspektif sosial dan politik Barat. Argumen saya adalah bahwa relasi kekuasaan Indonesia pasca-kolonial tidak seimbang karena kultur dan struktur sosial relatif stabil (atau: diupayakan stabil oleh rezim melalui ‘normalisasi’ kehidupan sosial); sementara itu, penafsiran makna sosial dimonopoli oleh negara. Jadi, terdapat tiga faktor utama yang saling berhubungan, yakni struktur sosial, kultur dan otoritas negara yang membentuk kondisi-kondisi kewarganegaraan demokratis dan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia pasca-kolonial. Kenyaatan ini mengimplikasikan bahwa upaya memodifikasi kurikulum pendidikan kewarganegaraan Indonesia pada masa pasca-rezim otoriter akan berdampak kecil bila kondisi-kondisi pasca-kolonial tersebut tidak berubah banyak.

Makalah ini menelusiri beberapa aspek penting Indonesia pasca-kolonial yang menjadi kondisi-kondisi yang mempengaruhi gagasan kewarganegaraan dan praktiknya di Indonesia selama enam dasawarsa terakhir, dan selanjutnya dibagi menjadi beberapa bagian. Mengikuti bagian pengantar ini dipaparkan secara ringkas kondisi Indonesia pasca-kolonial dimana saling pengaruh otoritas negara, institusi-institusi, struktur-struktur sosial, dan kultur-kultur masyarakat Indonesia telah mempengaruhi praktik kewarganegaraan Indonesia. Bagian selanjutnya melihat bagaimana landasan ideologis Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dipahami, dan bagaimana teori negara integralistik muncul sebagai gagasan yang mempengaruhi hubungan antara negara dan warganegara dalam kehidupan politik Indonesia pasca-kolonial. Bagian yang mengikutinya mengulas beberapa ciri sistem politik negara Indonesia pasca-kolonial yang hingga dewasa ini masih mempengaruhi panggung politik dan kewarganegaraan negara ini. Pada bagian ‘Islam dan Civil Society’ akan diulas secara ringkas bagaimana kaum intelektual dan pemuka agama mencoba memahami perspektif dan ajaran Islam dalam konteks negara Indonesia ‘modern’. Bagian ini diikuti dengan sebuah bagian yang lebih ringkas yang mencatat beberapa isu kultural penting yang menandai kehidupan masyarakat di Indonesia. Bagian terakhir merupakan bagian penutup yang sekaligus mengajak kita mempersiapkan diri untuk mengevaluasi perubahan-perubahan dan hasil dari perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap pendidikan formal kewarganegaraan setelah lengsernya rezim otoriter Orde Baru.



Kondisi Indonesia Pasca-kolonial

Isu-isu kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan Indonesia tidak hanya melibatkan kebijakan pendidikan rezim yang memerintah di negara ini, tetapi juga faktor-faktor kultural dan struktural. Sebagai sebuah negara-bangsa baru, Indonesia pasca-kolonial mewarisi suatu lingkungan yang membuat konsep kewarganegaraannya problematis. Kepentingan rezim hanyalah salah satu variabel yang membentuk cita sipil Indonesia. Dua fitur penting lain adalah variabel sosial dan kultural. Aspek struktural meliputi struktur sosial yang membentuk karakter ekonomi dan politik negara ini. Pada gilirannya, faktor-faktor ekonomi dan politik mempengaruhi aspek-aspek sosial dan psikologis. Variabel-variabel kultural meliputi nilai-nilai kultural, khususnya etika dan cara pandang (world-view) Jawa, dan perspektif Islam tentang kedirian (self) dan relasi sosial. Bersama konsideran-konsideran struktural, kedua variabel inilah yang digunakan rezim selama ini dalam mempengaruhi gagasan kewarganegaraan demokratis Indonesia. Ketiga variabel ini membentuk determinan cita sipil Indonesia, dan bersama-sama mempengaruhi sejauh mana kewarganegaraan yang demokratis dipraktikkan di negara ini. Interseksi (intersection) mereka dimanifestasikan oleh kebijakan pendidikan. Ringkasnya, pendidikan kewarganegaraan demokratis merupakan hasil dari saling pengaruh (interplay) ketiga variabel ini, otoritas negara dan institusi-institusi, struktur-struktur masyarakat, dan kultur-kultur Indonesia pasca-kolonial.

Karakter fisik, ekonomi dan sosial Indonesia sangatlah berbeda dengan negara-negara-bangsa yang lebih tua dalam masyarakat Eropa dimana kewarganegaraan demokratis modern berevolusi. Dengan lebih dari 17.000 ribu pulau besar dan kecil yang tersebar sepanjang 3.500 persegi-mil, dari Sabang sampai Merauke, luas geografis kepulauan Indonesia lebih luas dari Eropa Barat, dan hampir sebanding dengan Amerika Serikat dan Australia. Dengan jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa, Indonesia kini menduduki peringkat keempat negara paling padat di dunia. Tambahan pula, dengan jumlah sekitar 500 kelompok etnis dan 700 bahasa, Indonesia merupakan negara yang memiliki budaya paling beranekaragam di planet ini.

Masalah-masalah ekonomi dan struktural yang serius sudah terdapat di Indonesia sejak kemerdekaan. Bertahun-tahun Indonesia bergantung kepada pinjaman dan investasi modal luar negeri. Dewasa ini pengangguran diperkirakan mencapai sekitar 40 juta orang. Sebagain jumlah penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ketidaksetaraan distribusi manfaat ekonomi secara vertikal dan horizontal melintas keanekaragaman penduduk, dan kekurangan akses kepada pelbagai bentuk infrastruktur fisik, seperti pendidikan dan kesehatan, teknologi komunikasi dan transportasi, telah mempengaruhi secara serius integrasi dan pembangunan bangsa. Kondisi-kondisi struktural ini diperburuk oleh pelbagai masalah sosial dan kultural, terutama ketegangan-ketegangan etnis dan agama yang secara potensial eksplosif dan mudah dipolitisir. Secara historis, ekonomi negara ini secara substansial kurang mendapat perhatian pada zaman Orde Lama (1945-1966), karena urgensi perjuangan-perjuangan pasca-kemerdekaan. Perhatian Indonesia banyak dicurahkan kepada perjuangan melawan Belanda, yang kembali ke kepulauan ini antara 1945 dan 1949 guna menancapkan kembali kekuasaan kolonialnya. Energi bangsa juga terserap oleh konflik-konflik antar faksi di negara baru ini, khsusnya antara kekuatan-kekuatan komunis dan non-komunis di tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Lama. Indonesia sangat terkena dampak oleh dua ideologi dunia pada masa Perang Dingin: kapitalisme/liberalisme dan sosialisme/komunisme.

Sebagai sebuah negara eks-koloni yang sangat ingin mencicipi kebebasan, Indonesia sangat rentan terhadap hegemoni global Amerika. Negara ini mengadopsi sistem pemerintahan federal yang bertahan hidup sangat pendek yang dipaksakan oleh Belanda (1949-1950), dan kemudian mencoba sistem pemerintahan liberal (Demokrasi Parlementer (1950-1957)). Walhasil, Amerika Serikat segera mempengaruhi negara yang ‘kurang-berdaya’ ini, sebagian melalui bantuan keuangan. Akan tetapi kondisi-kondisi politik yang tidak stabil dan ekonomi yang stagnan mendorong Sukarno condong kepada sosialisme, dan memberlakukan Demokrasi Terpimpin (1957-1965) Situasi ekonomi semakin memburuk. Amerika Serikat menjadi semakin peduli dengan gerakan-gerakan ke arah komunisme di Indonesia, dan mengintervensi negara ini secara politik, ekonomi dan kultural (Anderson 1998). Pada tahun-tahun terakhir Orde Lama, Sukarno menjadi semakin otoriter dan terisolasi, sampai dia kehilangan kontrol terhadap situasi negara ini. Pada tahun 1966, setelah terjadi kudeta, dia dipaksa untuk mentransfer kekuasaannya kepada Suharto.

Suharto mengimplementasikan sebuah model pembangunan untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang ditinggalkan rezim Orde Lama. Dia menjalin hubungan dekat dengan kekuatan-kekuatan Barat dan meluncurkan gerakan anti-komunis. Dia sukses membawa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan pada dua dekade pertama pemerintahannya. Stabilitas politik masa Orde Baru utamanya karena pemerintahannya yang otoriter. Atas nama pembangunan nasional dan anti-komunisme, rezim Suharto otoriter dan represif dan ditandai oleh semakin meningkatnya patronase dan nepotisme. Suara-suara alternatif yang dianggap membahayakan posisinya dibungkamnya. Sekalipun membawa pertumbuhan ekonomi, administrasi developmentalisnya banyak mengabaikan prinsip-prinsip etis dalam menghasilkan kekayaan. Korupsi pada tingkat institusi dan individu cenderung endemik, dan kesenjangan distribusi pendapatan menjadi lebih luas. Rezim developmentalisnya sering dianggap banyak kalangan telah melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia. Salah satu fitur yang jelas adalah bahwa selama 32 tahun rezim otoriter ini memaksakan suatu integritas nasional melalui kekuatan dari atas ke bawah (top-down) daripada menumbuhkannya dari bawah ke atas. Integrasi sosial yang dipaksakan dalam masyarakat Indonesia yang plural ini tampak mulai ‘terganggu’ dengan jatuhnya Suharto dan Orde Baru.



Landasan Ideologis

Dalam menyusun filosofi negara dan konstitusi, Indonesia pasca-kolonial bercermin dari pengalaman negara-negara demokrasi yang lebih maju, terutama dalam mengadopsi teori dan konsep sosial dan politik Barat. Akan tetapi, teori dan konsep itu direinterpretasikan dan dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan setempat– suatu kenyataan yang telah mempengaruhi konsepsi cita sipil dalam pendidikan kewarganegaraan negara ini. Pancasila (ideologi negara), Undang-Undang Dasar 1945 (konstitusi nasional) dan paham Negara Integralistik merupakan landasan ideologis dan sistem negara dimana prinsip-prinsip pendidikan kewarganegaraan didasarkan. Akan tetapi, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 terus mendapat tantangan dari waktu ke waktu, baik dalam cara pemaknaan maupun resepsi terhadap keduanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian juga, paham Negara Integralistik yang direadopsi pada zaman Orde Baru karena dianggap cocok dengan kepentingan rezim. Pemaknaan, pemahaman dan penerapan ideologi, konstitusi dan sistem negara ini membawa implikasi penting terhadap kewarganegaraan Indonesia.

Dalam pelbagai perdebatan, Pancasila, misalnya, dianggap sebagai sintesis elemen-elemen demokrasi Barat, perspektif modernis Islam, dan sosialis, serta gagasan-gagasan komunalis desa-desa setempat (Kahin 1970). Umumnya banyak ahli setuju dengan George Kahin, dan menganggap bahwa Pancasila merupakan perpaduan pragmatis dari sejumlah prinsip umum yang sesuai dengan masyarakat Indonesia yang heterogen. Namun, sejumlah kritik diarahkan kepada penggunaan ideologi Pancasila untuk tujuan otoriter oleh pejabat-pejabat Orde Baru, dan efek-efek dari penerapan ini pada struktur-struktur politik. Adam Schwarz, sebagai contoh, mengeritik aplikasi Pancasila sebagai ‘selimut kegiatan politik…yang meninggalkan struktur-struktur politik tetap berdiri tetapi dengan fondasi yang lemah.’ (Schwarz 1999:47). Selanjutnya dia berpendapat bahwa sekalipun kelima sila itu sangat bermakna dan tidak diragukan membantu memoderatkan ketegangan-ketegangan komunal, beberapa pemimpin Orde Baru telah menggunakan mereka untuk memelintir komunikasi yang bermakna antara para pemimpin dan kawula mereka. Di samping itu, pengambilan keputusan yang konsensus yang praktikal di tingkat desa dianggap sebagai sebuah kesepakatan yang diwajibkan dengan pemegang kekuasaanya di tingkat nasional.

Kewarganegaraan di Indonesia secara legal didasarkan kepada konstitusi nasional Undang-Undang Dasar 1945 (Bab X, artikel 26 - artikel 34). Dengan diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1945, bangsa Indonesia menunjukkan bahwa negaranya adalah berdasarkan hukum (rechstaat), dan negara kesatuan yang berbentuk republik. Adopsi dan adaptasi konstitusionalisme dan republikanisme menegaskan bahwa ‘kewarganegaraan dipandang sebagai sesuatu yang umum (res public), dan rakyat akan mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan mereka masing-masing’ (Dagger 2002:155). Penekanan kuat kepada a sense of community and duties, dan pada kepentingan umum daripada kebebasan individu, merupakan argumen bapak bangsa, terutama Sukarno dan Soepomo, tentang nilai-nilai yang cocok untuk negara Indonesia pasca-kolonial.

Salah satu unsur penting yang mewarnai kewarganegaraan Indonesia adalah ‘teori negara integralistik’ yang dilontarkan Soepomo pada sidang umum Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. Setelah menjelaskan hakekat dua paham utama dan menyatakan penolakannya, yakni individualisme Eropa dan Marxisme dan/atau ketidaktatoran proletariat Rusia, Soepomo mengajukan teori integralistik yang diserapnya dari pemikiran Baruch de Spinoza, Adam Muller dan George E.F. Hegel, dan beberapa pemikir Eropa abad ke-delapan belas dan sembilan belas. Menurut teori ini, fungsi negara adalah memperhatikan kepentingan umum sebagai suatu kesatuan daripada kepentingan individu dan kelompok. Masyarakat sistem integral ini saling berhubungan, menjadi bagain tak terpisahkan dari suatu kesatuan atau masyarakat organik. Menurut Soepomo, prinsip kesatuan antara pemimpin dan rakyatnya dan prinsip bersatu dari keseluruhan negara, yang mencerminkan semangat gotong-royong dan semangat kekeluargaan, konsisten dengan kultur Timur.

Teori negara integralistik jelas bersesuaian dengan unsur utama republikanisme dan konsep Jawa tentang ‘manunggaling kawula-Gusti’ (kesatuan antara Gusti dan kawula; yang berdaulat dan subyeknya). Menurut Adam Muller (Magnis- Suseno 1992) gagasan yang ideal tentang negara adalah otoritas sentral yang kuat. Sekali lagi, dimensi ini mirip dengan public enterprise of republicanism. Ini juga dekat dengan hubungan antara yang berdaulat (pemimpin atau negara) dan rakyat biasa, dan fokus kepada supremasi negara (Tuhan atau representasinya di dunia) yang meliputi semesta dan manusia sebagai kesatuan yang populer dalam konsep Jawa ‘manunggaling kawula- Gusti’.

Rezim Orde Baru berupaya merevitalisasi teori negara integralistik, guna melegitimasi kekuasaannya dan menjaga status quo. Sudah jelas bahwa teori negara integralistik dan paham integral (integralisme) tidak tumbuh dari bentuk konstitusional setempat (indigenous) di kepulauan nusantara, tetapi merupakan adopsi dari ideologi Jerman (German-Romanticism), yang pada tahap-tahap selanjutnya tampak pula upaya memperkokohnya melalui teori-teori sosial fungsionalisme-struktural (French-Functionalism) (periksa, misalnya, Gouldner 1970). Bahkan, jejak-jejak pasca-kolonial sangat jelas. Seperti yang ditunjukkan oleh David Bourchier (1996), perkembangan pemikiran politik organik yang bersumber pada Hegel, Muller dan Spinoza, dibawa oleh para sarjana Belanda ke Indonesia, terutama Cornellius van Vollenhoven dan para muridnya. Van Vollenhoven adalah guru Soepomo di Universitas Leiden. Pada tahun 1943, Soepomo yang saat itu adalah seorang guru besar ilmu hukum dan seorang pejabat di Departemen Justisi (Justice Department), juga pernah melawat ke Jepang dan menetap selama empat bulan di sana. Sekembalinya dari negara Sakura itu, Soepomo mengungkapkan kekagumannya atas kebudayaan Jepang dan menyatakan kualitas-kualitas Timur yang esensial dapat memberikan kepada kaum intelektual Indonesia yang teralienasi dalam sistem pendidikan Barat, dengan awareness kepribadian dan kebudayaan nasional mereka pada tataran yang lebih tinggi dan konteks yang lebih luas (Bourchier 1996:70).

Seperti diketahui, Jepang (Dai Nippon) pada awal abad keduapuluh memperluas kekuasaannya dengan melakukan penjajahan di Asia-Timur, dengan menempuh jalan fasistik. Kegandrungan Jepang kepada Romantisme Jerman sekurang-kurangnya dapat ditelusuri dari Inoue Tetsujiro yang tiba di Jerman pada tahun 1890, dan belajar filsafat di sana selama 6 tahun. Inoue merupakan penulis Imperial Rescript yang diindoktrinisasikan melalui instruksi ideologis dan moral di sekolah-sekolah Jepang. Menurut Gluck (seperti dikutip Bourchier 1996:44) ‘Inoue memfabrikasi dasar-dasar ideologi negara-keluarga dari analogi dari seorang pemimpin dari tokoh bapak dalam konfusianisme dan teori-teori organis Barat tentang negara.’ Bila dikaitkan dengan pendidikan kewarganegaraan Indonesia, tidak mengherankan bahwa wacana dan argumen yang menitikberatkan ‘semangat kekeluargaan’ bersesuaian dengan kerangka-kerja ideologi integral, dan manifestasinya dapat ditelusuri dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.



Beberapa Ciri Sistem Politik Negara Indonesia Pasca-kolonial

Di samping isu-isu ideologi, konstitusi dan sistem negara, tampaknya kita perlu melihat bahwa gagasan-gagasan yang diformulasikan oleh para bangsa tidaklah sepenuhnya dapat dipraktikkan dengan baik seperti yang mereka cita-citakan. Hal ini dikarenakan rezim-rezim pemerintahan memiliki beberapa ciri di bawah kondisi-kondisi Indonesia pasca-kolonial. Rezim-rezim otoriter di Indonesia cenderung terbentuk, dimana kekuasaan berada di tangan kepala negara dan/atau eksekutif. Hal ini terjadi karena, seperti di sebut di atas, negara yang baru merdeka dipenuhi dengan konflik internal dan eksternal. Walhasil, revolusi sosial dan penggantian praktik-praktik kolonial tidak dapat segera tercapai. Pada awalnya, upaya nasional didedikasikan untuk menghancurkan kekuasaan kolonial yang mendominasi ekonomi. Akan tetapi, seperti ditunjukkan oleh Magnis-Suseno (2000), setelah kekuasaan politik penjajah berhasil dihancurkan, perubahan-perubahan struktur sosial tidak dirasakan sebagai urgensi. Hal ini dikarenakan struktur itu bertalian dengan kepentingan-kepentingan ekonomi elit politik.

Di satu pihak, para elit politik mengklaim sebagai nasionalis yang mendorong pembangunan nasional untuk rakyat. Di lain pihak, kelompok elit yang sama sering terlibat secara aktif dan secara finansial tertarik dalam pembangunan. Untuk memastikan negara dan ekonomi-nya (mereka?) berjalan lancar, dan dengan berwacana tentang ancaman komunis yang ‘real’ ataupun ‘dibayangkan’, stabilitas pun dipaksakan. Rezim Orde Baru, misalnya, menggunakan kata pamungkas ‘stabilitas’ untuk melegitimasi represi hak sipil individu dan perbedaan-perbedaan kultural, melalui kekuatan-kekuatan militer dan polisi, melalui aparatus negara yang ideologis, dan melalui pendidikan kewarganegaraan. Dalam konteks ini, praktik-praktik demikian tidak jauh banyak berbeda dari kekuasaan kolonial Belanda (dan Jepang), dan menjadi terinstitusionalisasikan dalam organisasi-organisasi dan birokrasi Indonesia yang merdeka.

Penekanan pada administrasi dan ekonomi pembangunan daripada politik yang dilakukan rezim Orde Baru, sebagai contoh, dianggap mirip dengan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1930an, yakni menekankan ‘negara sebagai mesin birokrasi yang efisien’ atau Beamtenstaat (McVey 1982:84). Banyak pengamat juga meyakini bahwa pengaruh Jawa, melalui reproduksi suatu sistem birokrasi patronase. Donal K. Emerson (1976), misalnya, berkesimpulan kultur politik Indonesia pada dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru sangat dicirikan oleh hubungan patron-klien. Sementara itu, Robison (1982) menegaskan bahwa politik patron-klien hanyalah satu dimensi kekuasaan dan politik Orde Baru. Dia berargumen bahwa abalisis politik Orde Baru harus mempertimbangkan dimensi sosio-ekonomi. Menurutnya, Orde Baru sendiri merupakan mikrokosme (microcosm) perjuangan antara bentuk-bentuk patrimonial dari kantong produksi tua dan formasi sosial petani dan bentuk otoritarian teregulasi yang baru dari suatu industrializing Indonesia’ (Robison 1982:146).

Herbert Feith (1980) menganggap bahwa birokrasi negara Indonesia pasca-kolonial yang menekankan pembangunan yang awalnya menjanjikan prospek bagi kesejahteraan rakyat dari kehancuran ekonomi di masa Orde Lama menjadi represif pada tahun-tahun sesudahnya. Rezim developmentalis-represif yang terdapat di pelbagai Asia, termasuk Indonesia, dicirikan oleh penguatan tema-tema ideologis tentang kewajiban moral kepada negara, seperti disiplin nasional, persatuan nasional, stabilitas untuk pembangunan dan manipulasi politik yang memperlemah dan memecah-belah kelompok-kelompok kekuatan alternatif. Nasionalisme sering ditandai oleh suatu dorongan untuk kembali ke nilai-nilai tradisional. Rezim-rezim developmentalis-represif menekankan pentinya hieraki, administrasi dan manajemen. Mereka curiga dengan segala antusiasme politik. Perlu ditambahkan di sini, rezim-rezim semacam ini—contoh konkrit adalah Orde Baru– lazimnya menekankan nasionalisme otoriter yang secara seragam mengkonstruk kewarganegaraan sebagai kesatuan organik dari suatu bangsa. Oleh karena itu, kebebasan dilihat dari sudut ‘bangsa vis-à -vis musuh-musuh dan pengacau-pengacaunya’ (Zubaida 1999:387).

Disamping beberapa ciri tersebut di atas, Harold Crouch (1980) menunjukkan bahwa kebijakan birokrasi pasca-Sukarno ditandai oleh tiga fitur utama, yakni: pertama, institusi-institusi politik yang didominasi oleh birokrat; kedua, parlemen, partai-partai politik dan kelompok-kelompok penekan yang kemampuannya untuk menyeimbangi dan mengontrol kekuasaan birokrasi relatif lemah, dan ketiga, secara politik, massa di luar birokrasi pasif, karena partai-partai politik dan kelompok-kelompok penekan lemah.



Islam dan Civil Society

Banyak sarjana telah mengidentifikasikan Islam sebagai salah satu pengaruh dalam pembentukan karakter negara dan masyarakat Indonesia pasca-kolonial (Benda 1958; Geertz 1968 1960; Hefner 2000, 1998, 1997; Lev 1972; Samson 1978). Sejak formulasi Pancasila sebagai dasar ideologis negara, perspektif dan ajaran Islam telah mempengaruhi perilaku politik dan nilai-nilai sosial masyarakat (periksa, misalnya, Yamin 1959). Pelbagai perdebatan pun masih berlangsung hingga kini di kalangan intelektual dan pemuka agama Islam di Indonesia tentang bagaimana bangsa Indonesia harus ‘memaknai’ dan ‘membangun’ negara Indonesia modern. Dua dasawarsa terakhir terjadi perubahan-perubahan signifikan pendekatan dalam menerapkan ajaran Islam oleh kaum intelektual Muslim di Indonesia.

Sebagai contoh, Muhammad A.S. Hikam (2000:222-226) mengidentifikasi tiga arus utama. Yang pertama adalah kaum intelektual yang menganggap Islam sebagai sebuah Pandekatan Alternatif. Bagi mereka, Islam dilihat sebagai sistem-nilai yang lengkap, yang seharusnya diterapkan sebagai alternatif untuk sistem (kewarganegaraan) yang ada. Penerapan pendekatan ini menuntut perubahan struktural, seperti yang dilakukan Ayatollah Khomeini di Iran dan Zia-ul Haq di Pakistan, mencakup pendirian bank-bank dan sistem-sistem legal Islam, penerapan gaya-hidup Islam untuk mensterilkan perilaku sosial dan menolak pengaruh-pengaruh non-Islam. Ini berarti kecenderungan menciptakan eklusifitas dan sektarian. Menurut Hikam, penekanan prinsip-prinsip formalistik dan legalistik Islam dapat membahayakan heterogenitas masyarakat Indonesia. Di Indonesia, sejumlah orang dan kelompok mengajukan implementasi prinsip-prinsip Islam untuk melawan tidak adanya atau kurangnya kepatuhan kepada hukum baik oleh elit maupun orang biasa. Di antara kaum intelektual yang masuk dalam kategori ini adalah Imaduddin A.R., A.M. Saefuddin dan Amien Rais.

Arus kedua terdiri dari mereka yang ingin menerapkan Pendekatan Kultural dalam proses penyebaran nilai-nilai Islam melalui modernitas dan pencerahan dalam komunitas Islam (umat). Landasan pendekatan ini adalah rasionalitas dan kontekstualitas pengajaran Islam melintas waktu dan ruang. Modernitas harus dilaksanakan dengan bernapaskan Islam, tetapi pendekatan yang kaku dalam penerapan standar-standar Islam perlu ditolak. Pendekatan kultural ini menarik simpati mereka yang suka dengan kehidupan modern yang bernapaskan nilai-nilai Islam, terutama kalangan menengah dan menengah ke atas kaum Muslim. Bagi Hikam, pendekatan ini mengabaikan kebutuhan perubahan structural untuk mengakomodasi keadilan dan kesetaraan dalam kontek Islam. Pendekatan ini terutama berpusat pada pemikiran dan kegiatan Nurcholish Madjid.

Kelompok ketiga mengambil Pendekatan Transformasi Sosio-kultural. Para intelektual ini menerima keharusan Islam sebagai suatu pendekatan kultural, tetapi bukan sebagai alternatif tunggal. Islam dapat berkembang lebih baik bila berkompelemnt dengan agama dan ideologi lain. Islam perlu membawa transformasi nilai-nilai yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan modern, khususnya kalangan miskin dan kurang berpendidikan. Islam harus memainkan peran dalam perubahan structural dalam masyarakat dengan mengembangkan nilai-nilai demokratis (Syura), egaliterianisme, kebebasan, dsb. Pendekatan ini bertujuan memberdayakan mereka yang ‘tidak berdaya’ (mustadh’afin) baik dalam kalangan Muslim maupun non-Muslim. Kaum intelektual yang masuk dalam kategori ini, seperti Abdurrahman Wahid, Moeslim Abdurtahman dan Djohan Effendi, meyakini bahwa mereka perlu bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan sosial manapun yang bertujuan memperbaiki struktur-struktur dan kondisi-kondisi sosial. Agenda utama mereka mencakup demokrasi akar-rumput, pemberdayaan politik, dan perbaikan ekonomi dan pendidikan.

Pelbagai perspektif Islam dalam pemaknaan Indonesia modern tersebut di atas membawa kita kepada ihwal sekuralisasi dan civil society. Sekularisasi dalam konsep negara-bangsa modern menekankan supremasi dan teknologi (rasio daripada keyakinan agama) dan sering dilihat sebagai melongsorkan keyakinan agama. Bila, sebagaimana disinyalir Ernest Gellner (1994:xi) bahwa, ‘tesis sekularisasi tidak diterapkan dalam Islam’, maka konsep negara-bangsa tidaklah konsisten dengan Islam. Konsep negara dalam Islam, dawlah, tidak mengimplikasikan suatu negara-bangsa dan pemisahan kekuasaan, tetapi ia mengimplikasikan kekuasaan berada dalam dinasti dari sebuah monarki, malik, sultan atau syah, dalam tradisi Arab. Negara dinastik atau monarki (raj) adalah sebuah ‘Dawlah Islamiyyah’, dan legitimasinya berasal bukan dari konstitusinya, tetapi keyakinan Islamik pemimpinnya (Schumann 1999). Konsep negara-bangsa telah lama menjadi problem bagi para pemimpin dan intelektual Islam. Islam mengakui persaudaraan Islam, Ukhuwwah Islamiyyah, dan menolak tribalisme dan nasionalisme Barat sebagai sesuatu yang tidak bersesuai (divisive).

Sehubungan dengan perspektif persaudaraan Islam, kita melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan Indonesia adalah negara-bangsa modern, yang mengakomodir keanekaragaman kultural yang condong kepada semangat kekeluargaan daripada individualisme dan liberalisme Barat modern. Banyak sarjana dan pemimpin Muslim Indonesia tampaknya setuju dengan Nurcholish Madjid yang menegaskan bahwa ‘Kami sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh domensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa’ (Madjid 1987:187).

Diskusi tentang suatu civil society Indonesia yang menunjukkan suatu ruang publik yang bebas dari pengaruh keluarga dan negara dimulai pada akhir 1980an, tetapi itu terjadi di Monash University di Australia, dan bukan di Indonesia. Almarhum Profesor Herberth Feith, seorang Indonesianis yang dihormati, mengundang sejumlah intelektual Indonesia ke sebuah seminar. Yang paling menonjol adalah Profesor Arief Budiman. Tema seminar dan judul dimana makalah-makalahnya disajikan menyangkut kapitalisme Orde Baru, korporatisme dan negara totaliter. Hanya artikel Arief Budiman yang memberikan suatu paparan umum tentang isu-isu civil society (Rahardjo 1999; Budiman 1990).

Sejak itu, para sarjana dan intelektual Muslim di Indonesia mulai membahas masyarakat madani. Perlu dicatat bahwa beberapa sarjana Muslim lebih senang menggunakan ‘civil society’ sebagaimana dilahirkan dalam tradisi Barat, dan sebagian lagi menggunakan masyarakat madani. Menurut Schumann (1999), lazimnya madinah merujuk kepada suatu tempat dimana din (agama) dimuliakan, khususnya pada zaman Nabi Muhammad. Oleh karena itu, mustama madani atau masyarakat beradab memberikan tempat kepada mereka yang bukan Islam tetapi yang hidupnya ‘tertib’. Ketika ihwal masyarakat madani diperdebatkan, umumnya dipahami sebagai sebuah utopia, masyarakat yang diidealkan yang bebas dari intervensi negara, dan diharapkan dapat membawa keadilan kepada masyarakat Indonesia secara umum. Civil society diperlukan agar demokrasi dapat berhasil karena ia mempromosikan asosiasi volunter (voluntary association), toletansi, kesetaraan, keterbukaan dan hak-hak asasi manusia.


Kultur Regional

Di samping kondisi-kondisi strukural, kepentingan-kepentingan politik dan keyakinan-keyakinan agama, sangat perlu untuk mempertimbangkan pengaruh kultur-kultur regional dalam kewarganegaraan demokratis Indonesia. Nilai-nilai dan praktik-praktik lokal memiliki pengaruh besar secara formal dan informal terhadap kegiatan-kegiatan sehari-hari pemerintah dan non-pemerintah. Tribalisme yang dipolitisir bisa saja menjadi batu sandungan dalam pengembangan ke arah suatu ‘kultur nasional’ jika orang-orang dari etnis dan keyakinan religi yang berbeda tidak bekerja sama (Koentjaraningrat 1974). Kultur-kultur dan praktik-praktik lokal dapat saja melongsorkan kohesi sosial dan identitas nasional, dan pada gilirannya semangat demokrasi modern.

Salah satu tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah bagaimana menyingkapi proses global yang mewarnai kehidupan pasca-kolonial. Perkembangan pesat teknologi informasi, bioteknologi, nano-teknologi, perubahan tatanan politik dunia, pertumbuhan penduduk dan eskalasi kerusakan ekologi, meluasnya mobilitas sosial, kapital, gagasan dan ilmu pengetahuan, terus bergulir dan melintas batas-batas negara di era globalisasi. Indonesia pasca-kolonial, yang sebagian penduduknya masih hidup dalam kultur rural dan/atau primordial vis-Ã -vis kultur korporasi (Soemardjan 2000), dituntut untuk dapat menghadapi perbedaan-perbedaan orientasi nilai-nilai secara dialogis, cerdas dan berjangka panjang.

Demikian juga, sikap mental yang dapat menghambat kemajuan yang ditunjukkan Koentjaraningrat (1974) hampir empat dasawarsa lalu sebagai kemunduran dalam aspek sosial-budaya akibat kolonialisasi, perlu mendapat perhatian serius. Sikap mental ini antara lain: meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak bersiplin murni dan tidak bertanggung jawab yang kokoh. Sikap mental ini boleh jadi ikut menyumbangkan pelbagai ketidak-ajeg-an dan ekses beberapa dasawarsa terakhir yang semakin meluas di masyarakat, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, prasangka (buruk), kambing hitam, adu-domba, mentang-mentang (dumeh), pamrih, mumpung, tidak mau mengakui kekurangan, kesalahan dan kekalahan.



Bahan Evaluasi

Bila kita melihat kenyataan-kenyatan di atas, selama enam dasawarsa kewarganegaraan Indonesia pasca-kolonial menekankan pemahaman cita sipil ‘top-down’, melalui ideologi-ideologi besar, konsep-konsep besar wacana modernis Barat atau perspektif tataran makro, yang disebut oleh Mohammad Somantri sebagai ‘the Great Oughts’ yang perlu diajarkan dan dipahami siswa-siswa dengan metode dan teknik yang tidak partipatoris tetapi cenderung merupakan kegiatan menghafal (Somantri 2001).

Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pengetahuan kewarganegaraan telah dikonstruk dan dinarasikan sebagai sebuah strategi identifikasi kultural atas nama kepentingan-kepentingan nasional. Konstitusi dan perkembangan pendidikan kewarganegaraan Indonesia pasca-kolonial tidak muncul dalam suatu kekosongan, tetapi dipengaruhi teori-teori sosial dan politik, dan perspektif, serta pengalaman dari negara-negara bangsa yang lebih tua di Eropa dan Amerika Utara. Kita telah melihat bagaimana penekanan ideologi negara beringsut dalam periode-periode politik yang berbeda setelah kemerdekaan Indonesia. Begitu juga, tujuan-tujuan pendidikan kewarganegaraan berubah sejalan atau menjawab tekanan-tekanan sosio-ekonomi dan kepentingan-kepentingan politik rezim yang berkuasa.

Pada masa Orde Lama yang ditekankan adalah integrasi nasional, yang oleh Sukarno disebut sebagai ‘nation-building’. Nasionalisme civic (civic nationalism) pada masa ini mendorong rakyat (warganegara) untuk patriotik dan mempertahankan negara yang baru diproklamirkan ini dengan segala upaya. Suharto meneruskan strategi dalam menempa identitas nasional. Akan tetapi, berbeda dengan Orde Lama, rezim Orde Baru menekankan pembangunan ekonomi nasional dan stabilitas ekonomi yang didukung oleh konsep ketahanan nasional. Konsep ini diperkuat oleh instrumen ideologis yang dikenal dengan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (Ekaprasetia Panca Karsa), dan adopsi kembali teori negara integralistik.

Pendidikan kewarganegaraan, misalnya, yang diharapkan dapat menyiapkan siswa-siswa menjadi ‘warganegara yang baik’ mempertautkan isu-isu politik negara seperti nasionalisme, patriotisme dan etika, serta isu-isu religi dan kultural. Beberapa ihwal yang problematis yang dapat kita temukan pada pendidikan itu, antara lain: 1) fokus kepada kontrak-sosial dalam republikanisme, konstitusionalisme dan konsep negara organik fungsionalis-struktural, cenderung melupakan tataran-mikro pada psikologi dan interaksi sosial dan jejaringan kultural (untuk analisis yang lebih mendalam, periksa, sebagai contoh, Kalidjernih 2005). Pada gilirannya, hal ini menciptakan ketidakseimbangan relasi kekuasaan. Pendidikan kewarganegaraan cenderung menjelmah menjadi alat untuk mengontrol warganegara secara ideologis. 2) Pendidikan kewarganegaraan tempat republikanisme Barat yang dire-interpretasikan dan diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lokal cenderung membangkitkan isu-isu yang kontradiktif dan pengetahuan civic yang ambivalen. Kontradiksi juga terjadi karena upaya memaksakan kewajiban-kewajiban dengan serangkaian kepatuhan kolektif melalui nilai-nilai lokal, tradisi dan mitos keberlanjutan sejarah yang tak terputus-putus. 3) Keinginan untuk mendorong kepada suatu ‘identitas nasional’, melalui pendidikan kewarganegaraan di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi sebagai salah satu strategi kunci, ditantang oleh kenyataan bahwa ‘identitas nasional’ Indonesia dalam proses ‘becoming’ daripada ‘being’. Identitas-identitas yang dianggap sesuatu yang ‘tetap’ (fixed) dan stabil, nota bene dimensi-dimensi pengetahuan civic, ternyata adalah dinamis.

Jadi, kembali kepada argumentasikan di atas tentang saling pengaruh antara otoritas negara, struktur dan kultur, dapat secara ringkas dijabarkan sebagai berikut: struktur dan kultur pasca-kolonial memungkinkan rezim membangun hegemoni ideologis, dan mereproduk kultur warganegara melalui jalur pendidikan (antara lain, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Rezim memperlakukan kondisi pasca-kolonial sebagai ‘sumber-daya’ (resources) yang mampu melegitimasi hegemoninya, dan pada saat yang bersamaan mereproduk ‘norma-norma’ yang dituntut untuk dipraktikkan oleh warganegara. Alih-alih memberdayakan warganegara, norma-norma ini (yang dalam ‘kesadaran’ dan ‘di bawah kesadaran’ yang diyakni bagian dari nilai-nilai kultural mereka) mengekang mereka untuk bertindak sebagai ‘warganegara demokratis yang baik’ dalam interaksi sosial dalam konteks masyarakat modern.5

Perspektif konformitas yang dipaksakan sehingga merepresi hak individu dan perbedaan kultural merupakan salah satu contoh yang baik. Hak dan kewajiban warganegara yang diwacanakan sebagai yang diatur oleh hukum hanyalah fiksi, karena kepatuhan bukan kepada hukum, tetapi semata-mata kepada pemegang otoritas. Di samping itu, ihwal jender juga terabaikan. Karena reproduksi struktur sosial dan nilai-nilai kultural tadi, peran perempuan cenderung ‘terhapus’ (annihiliated) dari wacana pendidikan kewarganegaraan. Perempuan cenderung dipotret dengan perspektif ‘tradisi’ (Jawa, terutama) dengan segala ‘kodrat’-nya. Alhasil, partisipasi dalam ruang publik mereka (seperti ranah politik, ekonomi, keagamaan) kecil dan hampir tidak tampak, terkecuali bagi mereka yang dianggap ‘pantas’ di mata rezim.

Pada masa transisi demokrasi, kita dapat melihat konsep-konsep mana yang dipaksakan oleh baik rezim Orde Lama maupun Orde Baru akan terus mempengaruhi kebijakan-kebijakan kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan. Bagaimana rezim-rezim baru mempraktikkan keutamaan-keutamaan civic (civic virtues) yang diproklamirkan pendahulunya, seperti patriotisme, kewajiban, kepatuhan dan konformitas? Sejauh mana rezim-rezim baru mempertahankan atau melepaskan kerangka-kerja kewarganegaraan otoriter? Bagaimana mereka menganggapi isu-isu kewarganegaraan bila dikaitkan dengan perubahan-perubahan lokal dan global dalam semua aspek kehidupan? Sejauh mana pula pendidikan kewarganegaraan (PKn) di era transisi demokrasi– sebagai pendidikan yang bertujuan mengembangkan warganegara yang cerdas dengan kompetensi untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan nasional dan internasional sesuai dengan potensi demokratis dan karakter Indonesia dan negara-negara lain (Departemen Pendidikan Nasional 2002:7) –dapat memberi kontribusi signifikan kepada revitalisasi cita sipil Indonesia pasca-kolonial?

Kita masih perlu menunggu beberapa tahun lagi sebelum mendapat jawaban dan sebelum dapat memberikan penilaian dan apresiasi atas hasil dari perubahan-perubahan yang dilakukan. Dengan segala antusiasme, sementara ini kita hanya dapat diingatkan oleh pepatah yang mengatakan: Don’t count your chicken before they are hatched.

_______________

Catatan:

1Saya menggunakan ‘pasca-kolonial’; bukan ‘pascakolonial’ untuk menunjukkan bahwa di samping diskontinuitas, terdapat kontinuitas dan kemiripan antara apa yang terjadi di masa kolonial dengan masa sesudah kolonial. Untuk ulasan mengenai ‘post-colonial(ism)’ dan ‘postcolonial(ism), periksa, misalnya McClintock (1992); Ashcroft, Griffith dan Tiffin (1989)



2Materi makalah ini—yang draft pertamanya disampaikan penulis pada acara diskusi dengan mahasiswa dan dosen Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung pada tanggal 6 Desember 2007– sebagian besar disadur dan/atau diadaptasi dari bab satu, tiga dan empat disertasi saya (Kalidjernih 2005). Makalah ini tidak dimaksudkan sebagai substitusi baik untuk bab-bab maupun disertasi tersebut. Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada mahasiswa dan dosen Universitas Pendidikan Indonesia atas kritik konstruktif dan saran mereka.



3Penulis adalah Staf Pengajar Luar Biasa, Program Pascasarjana, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia.


4Periksa, misalnya, Purwadi (2001), Winataputra (2000), Suryadi dan Somardi (2000), Azis-Wahab (2000)


5Pemakaian konsep ‘sumber-daya’ dan ‘norma-norma’ saya adopsi dari Giddens (1984), tetapi dengan sedikit modifikasi untuk konteks tulisan ini.







Daftar Rujukan Pustaka



Anderson, B.R.O’G. 1998. ‘From Miracle to Crash’, London Review of Books, 16 April,

3-7.

Ashcroft, B. Griffiths, G. dan Tiffin, H. 1989. The Empire Writes Back: Theory and

Practice in Post-Colonial Literatures, London: Routledge

Azis-Wahab, A. 2000. ‘New Paradigm and Curriculum Design for New Indonesian Civic

Education’, makalah yang disajikan dalam Seminar on the Need for New

Indonesian Civic Education, 29 Maret 2000, Centre for Indonesian Civic

Education.

Benda, H.J. 1958. The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under Japanese

Occupation, 1942-1945, The Hague and Bandung: W. van Hoeve.

Bourchier, D. 1996. Lineages of Organicist Political Thought in Indonesia, disertasi

doktoral yang tidak dipublikasikan, Department of Politics, Monash University,

Australia.

Budiman, A. ed. 1990. State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast

Asia, no. 22, Monash University Press, Clayton, Australia.

Crouch, H. 1980. ‘The New Order: The Prospect for Political Stability’, dalam J.J. Fox,

ed. Indonesia: Australian Perspectives, Research School of Pacific Studies,

Australian National University, Canberra, 657- 667.

Dagger, R. 2002, ‘Republican Citizenship’, dalam E.F. Isin dan B.S. Turner, ed.

Handbook of Citizenship Studies, London: Sage, 145-157.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi:

Mata Pelajaran Kewarganegaraan (Citizenship), Sekolah Dasar dan Madrasah

Ibtidaiyah, Jakarta.

Emmerson, D.K. 1976. Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics, Ithaca:

Cornell University Press.

Feith, H. 1980. ‘Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama,

Kerawanan Baru’, Prisma,11 (November), 69-84.

Geertz, C. 1968. Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia,

Chicago: Chicago University Press.

Geertz, C. 1960. The Religion of Java, New York: The Free Press.

Gellner, E. 1994. ‘Foreword’ dalam A.S. Ahmed dan H. Donnan, ed. Islam,

Globalisation and Postmodernity, London: Routledge, xi-xiv.

Giddens, A. 1984. The Constitutions of Society, Cambridge: Polity Press.

Gouldner, A. 1970. The Coming Crisis of Western Sociology, New York: Avon Books.

Hefner, R.W. 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, Princeton:

Princeton University Press.

Hefner, R.W. 1998. ‘A Muslim Civil Society? Indonesian Reflections on the Conditions

of Its Possibility’, dalam R.W. Hefner, ed. Democratic Civility: The History and

Cross-Cultural Possibility of a Modern Political Ideal, New Brunswick:

Transaction Publishers, 285-321.

Hefner, R. W. 1997. ‘Islamization and Democratization in Indonesia’, dalam R.W.

Hefner dan P. Horvatich, ed. Islam in an Era of Nation-States, Politics and

Religious Renewal in Muslim Southeast Asia, Honolulu: University of Hawaii

Press, 75-127.

Hikam, M.A.S. 1999, Politik Kewarganegaraan: Landasan Redemokratisasi di

Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kahin, G.McT. 1970. Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca: Cornell

University Press.

Kalidjernih, F.K. 2005, Postcolonial Citizenship Education: A Critical Analysis of the

Production and Reproduction of the Indonesian Civic Ideal. Disertasi doktoral

yang tidak dipublikasikan., University of Tasmania, Australia.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia.

Lev, D. S. 1972. Islamic Courts in Indonesia, Berkeley dan Los Angeles: University of

California Press.

Madjid, N. 1987. Islam: Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung: Mizan.

Magnis-Suseno, F. 2000. Kuasa dan Moral, (edisi revisi), Jakarta: Gramedia

Magnis-Suseno, F. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius

McClintock, A. 1992, ‘The Angel of Progress: Pitfalls of the Term “Post-colonialism”’,

Social Text, 31/32 (spring), 84-97.

McVey, R. 1982. ‘The Beamtenstaat in Indonesia’, dalam B. Anderson dan A. Kahin, ed.

Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, Interim

Reports Series (Publication No. 62), Cornell Modern Indonesia Project, Southeast

Asia Program, Cornell University, Ithaca, New York, 84-91.

Purwadi, A. 2001, ‘Citizenship Education for Today and Tomorrow’ makalah yang

disajikan di The International Forum on New Citizenship Education in Asian

Context, Hiroshima, October 29-31.

Rahardjo, M. D. 1999, ‘Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal’,

Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, 1 (2), 7 - 32.

Robison, R. 1982. ‘Culture, Politics, and Economy in the Political History of the New

Order’, dalam B. Anderson dan A. Kahin, ed. Interpreting Indonesian Politics:

Thirteen Contributions to the Debate, Interim Reports Series (Publication no. 62),

Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University

Ithaca, New York, 131-148.

Samson, A. 1978. ‘Conceptions of Politics, Power, and Ideology in Contemporary

Indonesia Islam’, dalam K.D. Jackson dan L.W. Pye, ed. Political Power and

Communications in Indonesia, Berkeley dan Los Angeles: University of

California Press, 196-226.

Schumann, O. 1999. ‘Dilema Islam Kontemporer: Antara Masyarakat Madani dan

Negara Islam’, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, 1 (2), 48-75.

Schwarz, A. 1999. A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability, St. Leonard,

NSW: Allen & Unwin.

Soemardjan, S. 2000. ‘Problems in Cross-Custural Relations’. University of Indonesia

Law Journal, October, 16-35.

Somantri, M.N. 2001. Menggagas Pembaharuan IPS, Bandung: Rosda.

Suryadi, A. dan Somardi, H. 2000. ‘Pemikiran ke Arah Rekayasa Kurikulum Pendidikan

Kewarganegaraan’, makalah yang disajikan dalam Seminar on the Needs

for New Indonesian Civic Education, 29 Maret 2000, Center for Indonesian Civic

Education.

Winataputra, U.S. 2000. ‘New Indonesian Civic Education: A Rationale Building (A

Look-back at the CICED’s National Survey for New Indonesian Civic

Education)’, Center for Indonesian Civic Education.

Yamin, M. 1959. Naskah - Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Siguntang.

Zubaida, S. 1999. ‘Contests of Citizenship: A Comment’. Citizenship Studies, 3

(3), 387-390

Tidak ada komentar:

Posting Komentar