Jumat, 24 September 2010

Upaya Peningkatan Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran PKn dengan Menggunakan
Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw di SMP N 1 Pontianak Kelas IX F
Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Bahasa Indonesia


DISUSUN OLEH:
1. Hafit Abu Abdullah A220090055
2 .Suprihatin A220090052
3. Tri Utomo A220090058


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2010

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosial, kebudayaan, bahasa, suku bangsa untuk menjadi warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945”. Untuk mencapai tujuan ini peranan guru sangat menentukan. Menurut Wina Sanjaya (2006 : 19), peran guru adalah: “Sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, dan evaluator”. Sebagai motivator guru harus mampu membangkitkan motivasi siswa agar aktivitas siswa dalam proses pembelajaran berhasil dengan baik. Salah satu cara untuk membangkitkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran adalah dengan mengganti cara pembelajaran yang selama ini tidak diminati lagi oleh siswa, seperti pembelajaran yang dilakukan dengan ceramah dan tanya-jawab, model pembelajaran ini membuat siswa jenuh dan tidak kreatif. Suasana belajar mengajar yang diharapkan adalah menjadikan siswa sebagai subjek yang berupaya menggali sendiri, memecahkan sendiri masalah-masalah dari suatu konsep yang dipelajari, sedangkan guru lebih banyak bertindak sebagai motivator dan fasilitator. Situasi belajar yang diharapkan di sini adalah siswa yang lebih banyak berperan (kreatif). Pada SMP N 1 Pontianak kelas IX F khususnya dalam pembelajaran PKn, peneliti sering menggunakan model pembelajaran ceramah.
Model pembelajaran ini tidak dapat membangkitkan aktivitas siswa dalam belajar. Hal ini tampak dari perilaku siswa yang cenderung hanya mendengar dan mencatat pelajaran yang diberikan guru. Siswa tidak mau bertanya apalagi mengemukakan pendapat tentang materi yang diberikan. Melihat kondisi ini, kami berusaha untuk mencarikan model pembelajaran lain yaitu model pembelajaran diskusi. Siswa dibagi atas beberapa kelompok yang beranggotakan 3-5 orang (melihat kondisi siswa di kelas). Dari diskusi yang telah dilaksanakan, ternyata siswa masih kurang mampu dalam mengemukakan pendapat, sebab kemampuan dasar siswa rendah. Dalam bekerja kelompok, hanya satu atau dua orang saja yang aktif, sedangkan yang lainnya membicarakan hal lain yang tidak berhubungan dengan tugas kelompok. Dalam melaksanakan diskusi kelompok kami juga melihat di antara anggota kelompok ada yang suka mengganggu teman karena mereka beranggapan bahwa dalam belajar kelompok (diskusi) tidak perlu semuanya bekerja. Karena tidak semua anggota kelompok yang aktif, maka tanggung jawab dalam kelompok menjadi kurang, bahkan dalam kerja kelompok (diskusi), juga ditemukan ada di antara anggota kelompok yang egois sehingga tidak mau menerima pendapat teman.
Melihat kenyataan-kenyataan yang ditemukan pada sikap siswa di dalam proses pembelajaran tersebut di atas, kami berpendapat bahwa aktivitas siswa di SMPN 1 Pontianak kelas IX F dalam pembelajaran PKn sangat kurang. Dalam hal ini dapat diungkapkan memang aktivitas siswa SMP N 1 Pontianak kelas IX F masih jauh dari pengertian aktivitas yang diungkapkan dari para ahli, seperti Paul D. Dierich dalam Oemar Hamalik (2001: 173), mengemukakan bahwa jenis aktivitas dalam kegiatan lisan atau oral adalah mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan interupsi.
Berdasarkan pengamatan atau observasi pendahuluan yang kami lakukan, ditemukan bahwa siswa SMP N 1 Pontianak kelas IX F dalam melaksanakan diskusi kelas jarang sekali mengemukakan pendapat, mengajukan pertanyaan, apalagi mengajukan saran. Karena aktivitas siswa yang rendah itu, hasil belajar yang diperoleh juga menjadi rendah. Rendahnya hasil belajar siswa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain rendahnya perhatian siswa dalam mengikuti pelajaran PKn. Guru sering memberikan pelajaran dalam bentuk ceramah dan tanya-jawab, sehingga siswa tidak terangsang untuk mengembangkan kemampuan berfikir kreatif.
Berdasarkan pengalaman yang kami hadapi di dalam proses pembelajaran PKn yang tidak aktif maka kami berusaha mencarikan model pembelajaran lain, sehingga pembelajaran lebih bermakna dan lebih berkualitas.
Model pembelajaran yang akan peneliti coba untuk melakukannya adalah model pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw. Ketertarikan peneliti mengambil model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, karena kami melihat dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw semua anggota kelompok diberi tugas dan tanggungjawab, baik individu maupun kelompok. Jadi, keunggulan pada pembelajaran kooperatifJigsaw dibanding dengan diskusi yaitu seluruh anggota dalam kelompok harus bekerja sesuai dengan tugas yang diberikan, sebab tugas itu ada yang merupakan tanggung jawab individu dan ada pula tanggung jawab kelompok. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti mengambil sebuah judul yaitu: “Upaya Peningkatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran PKn dengan menggunakanmodel pembelajaran kooperatif Jigsaw”.
Dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw di SMP N 1 Pontianak kelas IX F, diharapkan aktivitas siswa semakin meningkat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang telah ditetapkan dalam pembelajaran PKn dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Sejauh mana manfaat penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap pembelajaran Pkn di SMP N 1 Pontianak kelas IX F?
2. Sejauh mana aktivitas belajar siswa di SMP N 1 Pontianak kelas IX F dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui sejauh mana manfaat model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw di SMP N 1 Pontianak kelas IX F?
2. Mengetahui aktifitas belajar siswa dalam pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw di SMP N 1 Pontianak kelas IX F?














BAB II
PEMBAHASAN

A. Kegunaan Program.
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, maka peneliti mengharapkan
penilitian ini bermanfaat sebagai berikut:
a. Bagi Siswa
1. Memberikan suasana pembelajaran yang menggairahkan
2. Menghilangkan anggapan bahwa belajar kelompok itu cukup dikerjakan oleh satu atau dua orang saja
3. Memupuk pribadi siswa aktif dan kreatif
4. Memupuk tanggung jawab individu maupun kelompok
b. Bagi Guru
1. Mengembangkan kemampuan guru dalam proses belajar mengajar
2. Melatih guru agar lebih jeli dalam memperhatikan kesulitan belajar siswa
c. Bagi Sekolah
1. Melahirkan siswa-siswa yang aktif dan kreatif dalam menghadapi permasalahan di
lingkungannya.

B. Luaran Yang di Harapkan
Ada beberapa luaran yang kami harapkan dengan adanya penelitian tentang metode pembelajaran tipe jigsaw:
1. Diharapkan siswa di SMP N 1 Pontianak khususnya kelas IX F menganal apa yang dimaksud dengan metode pembelajaran tipe jigsaw.
2. Dengan pembelajaran tipe jigsaw diharapkan dapat mendorong guru untuk melihat dan memecahkan masalah-masalah yang dirasakan bersamaan dengan cara meningkatkan ketrampilan dan keaktifan dalam belajar.



C. Tinjauan Pustaka
a. Hakekat Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang secara umum bertujuan untuk mengembangkan potensi individu warga negara Indonesia, sehingga memiliki wawasan, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan yang memadai dan memungkinkan untuk berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan pendapat di atas jelas bagi kita bahwa PKn bertujuan mengembangkan potensi individu warga negara, dengan demikian maka seorang guru PKn haruslah menjadi guru yang berkualitas dan profesional, sebab jika guru tidak berkualitas tentu tujuan PKn itu
sendiri tidak tercapai.Secara garis besar mata pelajaran Kewarganegaraan memiliki 3 dimensi yaitu:
1. Dimensi Pengetahuan Kewarganegaraan yang mencakup bidang politik, hukum dan moral.
2.Dimensi Keterampilan Kewarganegaraan meliputi keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Dimensi Nilai-nilai Kewarganegaraan mencakup antara lain percaya diri, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur. (Depdiknas 2003 : 4)
Berdasarkan uraian di atas peneliti berpendapat bahwa dalam mata pelajaran Kewarganegaraan seorang siswa bukan saja menerima pelajaran berupa pengetahuan, tetapi pada diri siswa juga harus berkembang sikap, keterampilan dan nilai-nilai. Sesuai dengan Depdiknas (2005 : 33) yang menyatakan bahwa tujuan PKn untuk setiap jenjang pendidikan yaitu mengembangkan kecerdasan warga negara yang diwujudkan melalui pemahaman, keterampilan sosial dan intelektuan, serta berprestasi dalam memecahkan masalah di lingkungannya.Untuk mencapai tujuan Pendidikan Kewarganegaraan tersebut, maka guru berupaya melalui kualitas pembelajaran yang dikelolanya, upaya ini bisa dicapai jika siswa mau belajar. Dalam belajar inilah guru berusaha mengarahkan dan membentuk sikap serta perilaku siswa sebagai mana yang dikehendaki dalam pembelajaran PKn.




b. Aktivitas Belajar Siswa dalam Pembelajaran PKn
Aktivitas Belajar Sebelum peneliti meninjau lebih jauh tentang aktivitas belajar, terlebih dahulu dijelaskan tentang Aktivitas dan Belajar. Menurut Anton M. Mulyono (2001 : 26), Aktivitas artinya “kegiatan / keaktifan”. Jadi segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang terjadi baik fisik maupun non-fisik, merupakan suatu aktifitas. Sedangkan Belajar menurut Oemar Hamalik (2001: 28), adalah “Suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan”. Aspek tingkah laku tersebut adalah: pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis atau budi pekerti dan sikap. Jika seseorang telah belajar maka akan terlihat terjadinya perubahan pada salah satu atau beberapa aspek tingkah laku tersebut.
Selanjutnya Sardiman A.M. (2003 : 22) menyatakan: “Belajar sebagai suatu proses interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori”.

Dalam proses interaksi ini terkandung dua maksud yaitu:
1.Proses Internalisasi dari sesuatu ke dalam diri yang belajar.
2.Proses ini dilakukan secara aktif dengan segenap panca indera ikut berperan.
Dari uraian tentang belajar di atas peneliti berpendapat bahwa dalam belajar terjadi dua proses yaitu:
1. perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang sedang belajar.
2. interaksi dengan lingkungannya, baik berupa pribadi, fakta, dsb.
Jadi peneliti berkesimpulan bahwa aktivitas belajar adalah segala kegiatan yang dilakukan dalam proses interaksi (guru dan siswa) dalam rangka mencapai tujuan belajar. Aktivitas yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada siswa, sebab dengan adanya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran terciptalah situasi belajar aktif, seperti yang dikemukakan oleh Rochman Natawijaya dalam Depdiknas, 2005 : 31, belajar aktif adalah “Suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotor”.

Aktivitas belajar itu banyak sekali macamnya, sehingga para ahli mengadakan klasifikasi. Paul D. Dierich, dalam Oemar Hamalik (2001 : 172) mengklasifikasikan aktivitas
belajar atas delapan kelompok, yaitu:
1. Kegiatan-kegiatan Visual
Membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja dan bermain.
2. Kegiatan-kegiatan Lisan (oral),
mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan interupsi.
3. Kegiatan-kegiatan mendengarkan,
Mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, mendengarkan radio.
4. Kegiatan-kegiatan Menulis
Menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan kopi, membuat rangkuman, mengerjakan tes dan mengisi angket.
5. Kegiatan-kegiatan Menggambar
Menggambar, membuat grafik, chart, diagram, peta dan pola.
6. Kegiatan-kegiatan Metrik
Melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, menari dan berkebun.
7. Kegiatan-kegiatan Mental
Merenung, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, melihat
hubungan-hubungan dan membuat keputusan.
8. Kegiatan-kegiatan Emosional
Minat, membedakan, berani, tenang dan lain-lain.

Hal lain yang juga sangat penting pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa adalah motivasi. Menurut Oemar Hamalik (2001: 158), “Motivasi adalah perubahan energi pada diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan”. Motivasi dapat dibagi menjadi dua jenis:
1. Motivasi Intrinsik, adalah motivasi yang tercakup di dalam situasi belajar dan menemui kebutuhan dan tujuan-tujuan murid. Motivasi ini disebut motivasi murni karena timbul dari diri siswa sendiri, misalnya keinginan untuk mendapat keterampilan tertentu, memperoleh informasi, mengembangkan sikap untuk berhasil, dll.
2. Motivasi Ekstrinsik, adalah motivasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar situasi belajar, misalnya ijazah, tingkatan hadiah, medali, dll. Motivasi ini tetap diperlukan di sekolah, sebab pengajaran di sekolah tidak semuanya menarik minat siswa. Oleh sebab itu motivasi perlu dibangkitkan oleh guru, sehingga siswa mau dan ingin belajar.
Dari uraian di atas peneliti berpendapat bahwa dengan adanya motivasi siswa dalam belajar, maka aktivitas siswa dalam proses pembelajaran juga akan meningkat.
Aktivitas Siswa yang Diamati
Dalam penelitian ini peneliti akan mengamati aktivitas siswa sebagai berikut:
a. Mengajukan pertanyaan
b. Menjawab pertanyaan siswa maupun guru
c. Memberi saran
d. Mengemukakan pendapat
e. Menyelesaikan tugas kelompok
f. Mempresentasikan hasil kerja kelompok

c. Pembelajaran Kooperatif
1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif (Kooperatif Learning)
Keberhasilan dari pembelajaran sangat ditentukan oleh pemilihan metode belajar yang ditentukan oleh guru. Sebab dengan penyajian pembelajaran secara menarik akan dapat membangkitkan motivasi belajar siswa, sebaliknya jika pembelajaran itu disajikan dengan cara yang kurang menarik, membuat motivasi siswa rendah. Untuk menciptakan pembelajaran yang menarik, upaya yang harus dilakukan guru adalah memilih model pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi pembelajaran. Dengan model pembelajaran yang tepat diharapkan akan meningkatkan aktivitas siswa dalam belajar sehingga hasil belajar pun dapat ditingkatkan.
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas siswa adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan pada kelompok kecil, siswa belajar dan bekerja sama untuk sampai pada pengalaman belajar yang optimal baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok. Esensi pembelajaran kooperatif itu adalah tanggung jawab individu sekaligus tanggung jawab kelompok, sehingga dalam diri siswa terdapat sikap ketergantungan positif yang menjadikan kerja kelompok optimal.
Pada pembelajaran kooperatif terdapat saling ketergantungan positif antar anggota kelompok. Siswa saling bekerja sama untuk mendapatkan hasil belajar yang lebih baik. Keberhasilan kelompok dalam mencapai tujuan tergantung pada kerja sama yang kompak dan serasi dalam kelompok itu.
Dengan memperhatikan pengertian dari pembelajaran kooperatif di atas, peneliti berpendapat bahwa model pembelajaran ini sangat baik untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa, sebab semua siswa dituntut untuk bekerja dan bertanggung jawab sehingga di dalam kerja kelompok tidak ada anggota kelompok yang asal namanya saja tercantum sebagai anggota kelompok, tetapi semua harus aktif.
2. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa pembelajaran Kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok kecil, di mana Muslim Ibrahim (2006 : 6, dalam Depdiknas 2005 : 45) menguraikan unsur-unsur pembelajaran Kooperatif sebagai berikut:
a. Siswa dalam kelompoknya harus beranggapan bahwa mereka “sehidup sepenanggungan bersama”.

b. Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya seperti milik mereka
sendiri.
c. Siswa harus melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
d. Siswa harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya.
e. Siswa akan dikena evaluasi atau hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua kelompok.
f. Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
g. Siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Dengan memperhatikan unsur-unsur pembelajaran kooperatif tersebut, peneliti berpendapat bahwa dalam pembelajaran kooperatif setiap siswa yang tergabung dalam kelompok harus betul-betul dapat menjalin kekompakan. Selain itu, tanggung jawab bukan saja terdapat dalam kelompok, tetapi juga dituntut tanggung jawab individu.
3. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif:
Sebagai seorang guru dalam memberikan pelajaran kepada siswa tentu ia akan memilih manakah model pembelajaran yang tepat diberikan untuk materi pelajaran tertentu. Apabila seorang guru ingin menggunakan pembelajaran kooperatif, maka haruslah terlebih dahulu mengerti tentang pembelajaran kooperatif tersebut. Dalam hal ini Muslim Ibrahim (dalam Depdiknas, 2005 : 46) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
c. Bila mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda.
d. Penghargaan lebih berorientasi pada individu.
Dengan memperhatikan ciri-ciri tersebut, seorang guru hendaklah dapat membentuk kelompok sesuai dengan ketentuan, sehingga setiap kelompok dapat bekerja dengan optimal.

4. Tipe-tipe Pembelajaran Kooperatif:
Pada pembelajaran kooperatif dikenal ada 4 tipe, yaitu:
1) tipe STAD,
2) tipe Jigsaw,
3) Investigasi Kelompok dan
4) tipe Struktural.
Tentang hal itu dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Tipe STAD
Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division) adalah pembelajaran kooperatif di mana siswa belajar dengan menggunakan kelompok kecil yang anggotanya heterogen dan menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran untuk menuntaskan materi pembelajaran, kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pembelajaran melalui tutorial, kuis satu sama lain dan atau melakukan diskusi.
b. Tipe Jigsaw
Tipe Jigsaw adalah salah satu model pembelajaran kooperatif di mana pembelajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa yang bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran dan mendapatkan pengalaman belajar yang maksimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok. Pada pembelajaran tipe Jigsaw ini setiap siswa menjadi anggota dari 2 kelompok, yaitu anggota kelompok asal dan anggota kelompok ahli. Anggota kelompok asal terdiri dari 3-5 siswa yang setiap anggotanya diberi nomor kepala 1-5. Nomor kepala yang sama pada kelompok asal berkumpul pada suatu kelompok yang disebut kelompok ahli.
c. Investigasi Kelompok
Investigasi kelompok merupakan pembelajaran kooperatif yang paling komplek dan paling sulit untuk diterapkan, di mana siswa terlibat dalam perencanaan pemilihan topik yang dipelajari dan melakukan pentelidikan yang mendalam atas topik yang dipilihnya, selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas.
d. Tipe Struktural
Ada 2 macam pembelajaran koooperatif tipe struktural ini yang terkenal, yaitu:
- Think-pair-share, yaitu pembelajaran kooperatif dengan menggunakan tahap-tahap pembelajaran sebagai berikut:
o Tahap Pertama: Thinking (berfikir), dengan mengajukan pertanyaan, kemudian siswa diminta untuk memikirkan jawaban secara mandiri beberapa saat.
o Tahap Kedua: Siswa diminta secara berpasangan untuk mendiskusikan apa yang
dipikirkannya pada tahap pertama.
o Tahap Ketiga: Meminta kepada pasangan untuk berbagi kepada seluruh kelas secara bergiliran.
- Numbered head together yaitu pembelajaran kooperatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
o Langkah 1: siswa dibagi per kelompok dengan anggota 3-5 orang, dan setiap anggota diberi nomor 1-5.
o Langkah 2: guru mengajukan pertanyaan.
o Langkah 3: berfikir bersama menyatukan pendapat.
o Langkah 4: nomor tertentu disuruh menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
Dari keempat tipe pembelajaran kooperatif di atas, peneliti lebih tertarik melakukan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, di mana pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw setiap siswa berkewajiban mempelajari materi yang ditugaskan kepada mereka secara bersama pada kelompok ahli, kemudian setiap siswa harus menyampaikan materi yang sudah dipelajarinya dalam kelompok asal, sehingga siswa memperoleh pengalaman langsung. Tingkat aktivitas pada kooperatif Jigsaw lebih tinggi karena semua siswa berpartisipasi dan punya tanggung jawab baik individu maupun kelompok.

d. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terdapat 3 karakteristik yaitu:
a. kelompok kecil,
b. belajar bersama,
c. pengalaman belajar.

Esensi kooperatif learning adalah tanggung jawab individu sekaligus tanggung jawab kelompok, sehingga dalam diri siswa terbentuk sikap ketergantungan positif yang menjadikan kerja kelompok optimal. Keadaan ini mendukung siswa dalam kelompoknya belajar bekerja sama dan tanggung jawab dengan sungguh-sungguh sampai suksesnya tugas-tugas dalam kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Johnson (1991 : 27) yang menyatakan bahwa “Pembelajaran Kooperatif Jigsaw ialah kegiatan belajar secara kelompok kecil, siswa belajar dan bekerja sama sampai kepada pengalaman belajar yang maksimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok”.
Persiapan dalam pembelajaran kooperatif Jigsaw:
1. Pembentukan Kelompok Belajar
Pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw siswa dibagi menjadi dua anggota kelompok yaitu kelompok asal dan kelompok ahli, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Kelompok kooperatif awal (kelompok asal).
Siswa dibagi atas beberapa kelompok yang terdiri dari 3-5 anggota. Setiap anggota diberi nomor kepala, kelompok harus heterogen terutama di kemampuan akademik.
b. Kelompok Ahli
Kelompok ahli anggotanya adalah nomor kepala yang sama pada kelompok asal, dengan diagram sebagai berikut:
2. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini berbeda dengan kelompok kooperatif lainnya, karena setiap siswa bekerja sama pada dua kelompok secara bergantian, dengan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:
a. Siswa dibagi dalam kelompok kecil yang disebut kelompok asal, beranggotakan 3-5 orang. Setiap siswa diberi nomor kepala misalnya A,B,C,D,E
b. Membagi wacana / tugas sesuai dengan materi yang diajarkan. Masing-masing siswa dalam kelompok asal mendapat wacana / tugas yang berbeda, nomor kepala yang sama mendapat tugas yang sama pada masing-masing kelompok.
c. Kumpulkan masing-masing siswa yang memiliki wacana / tugas yang sama dalam satu kelompok sehingga jumlah kelompok ahli sama dengan jumlah wacana atau tugas yang telah dipersiapkan oleh guru.

d. Dalam kelompok ahli ini tugaskan agar siswa belajar bersama untuk menjadi ahli sesuai dengan wacana / tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
e. Tugaskan bagi semua anggota kelompok ahli untuk memahami dan dapat menyampaikan informasi tentang hasil dari wacana / tugas yang telah dipahami kepada kelompok kooperatif (kelompok asal). Poin c, d, dan e dilakukan dalam waktu 30 menit.
f. Apabila tugas telah selesai dikerjakan dalam kelompok ahli masing-masing siswa kembali ke kelompok kooperatif asal.
g. Beri kesempatan secara bergiliran masing-masing siswa untuk menyampaikan hasil dari tugas di kelompok ahli. Poin f dan g dilakukan dalam waktu 20 menit.
h. Bila kelompok sudah menyelesaikan tugasnya secara keseluruhan, masing-masing kelompok menyampaikan hasilnya dan guru memberikan klarifilkasi. (10 menit).

e. Kerangka Konseptual
Dalam pembelajaran kooperatif Jigsaw kegiatan dilakukan dalam tiga tahapan yaitu : tahap I (kooperatif asal), tahap II (kelompok ahli), tahap III (kelompok gabungan). Untuk meningkatkan aktivitas siswa perlu adamotivasi, baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik. Dalam halini peneliti hanya meneliti sampai aktivitas siswa, tidak meneliti sampai hasil belajar siswa.
f. Hipotesis Tindakan
Dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di SMPN 1 X Pontianak aktivitas siswa dapat meningkat.

D. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Sesuai dengan masalah yang diteliti, maka jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti berupa Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yaitu suatu kegiatan penelitian yang dilakukan di kelas dalam arti luas. Suharsimi Harikunto (2006 : 2 ) memandang Penelitian Tindakan Kelas sebagai bentuk penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa, sehingga penelitian harus menyangkut upaya guru dalam bentuk proses pembelajaran.
PTK, selain bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar, juga untuk meningkatkan kinerja guru dan dosen dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain, PTK bukan hanya bertujuan untuk mengungkapkan penyebab dari berbagai permasalahan yang dihadapi, tetapi yang lebih penting adalah memberikan pemecahan berupa tindakan untuk mengatasi masalah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PTK adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada dalam proses pembelajaran dan upaya meningkatkan proses serta hasil belajar.
b. Tempat/Waktu dan Subjek Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMP N 1 Pontianak yang terletak di Jln.Ahmad Ahmad Yani Pontianak.Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember-Januari (semester I tahun pelajaran 2009/2010)
2.Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas IX F yang berjumlah 23 orang, terdiri dari 14 orang laki-laki dan 9 orang perempuan.
c. Prosedur Penelitian
Menurut prosedur Penelitian Tindakan Kelas, maka penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk siklus yang terdiri dari empat tahap yaitu: perencanaan (planning), tindakan (action), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Kurt Lewin dalam Depdikbud (1999 : 21).
d. Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan untuk pengumpulan data adalah berupa instrumen untuk mencatat semua aktivitas siswa selama tindakan berlangsung. Ada tiga macam alat pengumpul data yang digunakan, yaitu:
a. Lembaran Observasi
b. Catatan Lapangan
Catatan lapangan merupakan buku jurnal harian yang ditulis peneliti secara bebas, buku ini mencatat seluruh kegiatan pembelajaran serta sikap siswa dari awal sampai akhir pembelajaran

c. Kuesioner Siswa
Kuesioner siswa merupakan dialog secara tertulis dengan siswa yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana model pembelajaran yang dibawakan disenangi atau tidak oleh siswa, ada sepuluh aspek yang ditanyakan. Pada kuesioner ini siswa diharapkan dapat menjawab jujur dan objektif dengan jalan memberi ceklis “ya” atau “tidak” pada lajur yang disediakan. Kuesioner ini diberikan kepada 23 orang siswa setelah berakhirnya siklus kedua. Aspek yang ditanyakan pada kuesioner tersebut terlampir.

e. Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa secara kolaboratif dengan teman sejawat dan hasilnya dijadikan sebagai bahan penyusunan rencana tindakan berikutnya. Analisa data dilakukan setiap selesai 1 kali pertemuan tatap muka dan setiap akhir silkus. Data dianalisa secara kualitatif yaitu lembaran observasi dan catatan lapangan. Analisa kualitatif untuk catatan lapangan dan lembaran observasi dilakukan dengan jalan membandingkan keaktifan siswa pada siklus satu dengan keaktifan siswa siklus dua.
a. Lembaran Observasi Proses Belajar Mengajar
Lembaran ini dipergunakan untuk mengungkapkan aktifitas siswa dan guru selama proses belajar berlangsung. Ada 6 aspek yang diamati pada lembaran ini, yaitu:
1. Mengajukan pertanyaan
2. Menjawab pertanyaan siswa maupun guru
3. Memberi saran
4. Mengemukakan pendapat
5. Menyelesaikan tugas kelompok
6. Mempresentasikan hasil kerja kelompok

E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
a. Deskripsi Pelaksanaan
Pertemuan 1
1. Perencanaan Tindakan
Berkaitan dengan masalah penelitian ini sudah dirumuskan rencana tindakan yang akan dilaksanakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian. Rencana tindakan disusun untuk menguji hipotesis yang diajukan. Apakah tindakan yang dilakukan relevan dan sinkron dengan akar permasalahan yang ada. Materi pelajaran yang dibahas pada siklus I ini adalah:
“Menjelaskan hakekat kemerdekaan mengemukakan pendapat”, dengan perencanaan penelitian sebagai berikut:
• Menyiapkan rencana pembelajaran
• Menyiapkan wacana / tugas
• Menyiapkan format observasi
• Membagi kelompok siswa, yaitu kelompok kooperatif asal empat orang anggota dan kelompok ahli lima orang anggota
2. Pelaksanaan Tindakan
Guru bercerita tentang keadaan / situasi masyarakat ataupun negara terutama dalam menghadapi krisis ekonomi saat ini, sehingga siswa mampu menghubungkan dengan topik yang akan dibahas. Kemudian guru memberi motivasi kepada siswa agar siswa tertarik untuk mengikuti pelajaran.
Siswa menyimak penjelasan guru tentang indikator yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran. Kemudian siswa membaca materi pembelajaran mengenai hakekat serta landasan hukum mengemukakan pendapat.
Selanjutnya secara individu siswa mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, yaitu:
a. Pengertian kemerdekaan mengemukakan pendapat
b. Dampak positif kemerdekaan mengemukakan pendapat dan hak-hak yang membatasi kemerdekaan mengemukakan pendapat.
c. Setelah selesai mengerjakan tugas, tiga orang siswa secara bergantian mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas. Kemudian guru memberi penjelasan dan klarifikasi sesuai dengan tugas yang dipresentasikan.
d. Kegiatan Penutup
Siswa dengan dibimbing guru membuat rangkuman materi pelajaran. Setelah selesai, guru membentuk kelompok serta penjelasan kerja kelompok untuk persiapan pembelajaran berikutnya.
Pertemuan II
a. Pendahuluan
Guru melakukan appersepsi yaitu kesiapan siswa untuk mengikuti pembelajaran, kemudian memberikan motivasi dan informasi kompetensi yang akan dicapai. Kemudian guru membentuk kelompok sebagaimana telah dipersiapkan pada pertemuan sebelumnya.
b. Kegiatan Inti
Guru memberikan tugas-tugas terhadap nomor kepala (nomor anggota kelompok), mulai dari nomor kepala A, B,C dan D, serta menjelaskan langkah yang harus dilakukan setiap kelompok dan alokasi waktu yang disediakan. Masing-masing nomor kepala mendapat tugas yang berbeda-beda. Tugas masing-masing nomor kepala adalah sebagai berikut:
Nomor kepala A membahas pengertian hak dan macam-macam hak-hak seseorang dalam
mengemukakan pendapat.
Nomor kepala B membahas pengertian kewajiban dan macam-macam kewajiban dalam mengemukakan pendapat.
Nomor kepala C membahas bentuk-bentuk mengemukakan pendapat di muka umum.
¬Nomor kepala D membahas cara-cara beserta contoh mengemukakan pendapat di muka umum.
Setelah guru memberikan tugas kepada kelompok asal, setiap siswa mencatat bentuk tugas yang menjadi bagiannya.




c.Kegiatan Penutup
Siswa dengan difalitasi oleh guru membuat kesimpulan materi pelajaran dan guru memberi penekanan terhadap materi yang penting
1. Mengumpulkan laporan hasil kerja kelompok.
2. Menanyakan kepada beberapa orang siswa tentang refleksi pelajaran yang dilakukannya.
3. Memberi pekerjaan rumah (PR).

E. Jadwal Kegiatan
1. Persiapan
2. Observasi
3. Pengumpulan Data
4. Penyusunan
5. Evaluasi


















BAB III
PENUTUP

Dari hasil pengamatan peneliti tentang aktivitas belajar siswa di kelas VII-B, SMPN Pontianak 1 X, ternyata model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Ini dapat peneliti lihat dari beberapa hal sebagai berikut:
- Siswa dapat mengikuti proses pembelajaran lebih bergairah dan bersemangat,
- Timbulnya keberanian siswa dalam menyampaikan ide atau pikiran,
- Tumbuhnya rasa percaya diri siswa dalam mengemukakan pendapatnya,
- Meningkatnya rasa tanggungjawab siswa dalam mengikuti pembelajaran,
- Sangat kurang sekali siswa yang berkeliaran dan maupun mengganggu teman.
Dengan demikian berarti model pembelajaran kooparatif Jigsaw sangat cocok diterapkan dalam proses pembelajaran PKn di SMP N 1 Pontianak.



BAB IV
SARAN
a. Sebaiknya siswa memiliki buku pokok ataupun buku penunjang, sehingga dalam
melaksanakan diskusi tidak kekurangan bahan,
b. Pembagian kelompok siswa sebaiknya dilakukan sebelum masuk materi pelajaran, bahkan
kalau memungkinkan kelompoknya permanen
c. Lembaran kerja siswa sebaiknya dibagikan beberapa hari sebelum PBM dimulai, bersamaan dengan informasi KD atau materi yang akan diberikan




Daftar Pustaka
Anton M Mulyono, 2000, Kamus Besar Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
Depdikbud, 1999, Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta : Depdikbud
Depdiknas, 2005, Pendidikan Kewarganegaraan, Kurikulum dan Silabus Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta : Depdiknas
Depdiknas, 2005, Pendidikan Kewarganegaraan, Strategi dan Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta : Depdiknas
Johnson DW & Johnson, R, T (1991) Learning Together and Alone. Allin and Bacon : Massa Chussetts
Oemar Hamalik, 2001, Proses Belajar Mengajar, Jakarta, P.T., Bumi Aksara
Sardiman, A.M, 2003, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

INFO PPA

Sehubungan akan dilaksanakanya PPA Gel.2,maka diberitahukan pada mahasiswa baru FKIP UMS yang belum mengikuti PPA,mhon untuk mendaftar diHMP masing-masing jurusan.
Pelaksanaan:
Hari : Minggu/26 September 2010
Tempat : Auditorium Muh.Djasman
Waktu : 06.00-Selesai

Minggu, 08 Agustus 2010

Bandar Ikan Tewas Dibantai di Pelabuhan

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana dan kriminalogi
Dosen Pengampu: Asri Arinilasari






Disusun oleh:
Suprihatin
A 22009052


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2010
Bandar Ikan Tewas Dibantai di Pelabuhan
Repoter : Nancy Irene
Juru Kamera : Dedi Suhardiman
indosiar.com, Pekalongan - Akhir September lalu, seorang wanita yang sehari-harinya dikenal sebagai bandar ikan di lingkungan tempat pelelangan ikan pelabuhan laut Pekalongan, Jawa Tengah, ditemukan tewas dengan luka remuk.
Sebuah besi pemecah es memberi petunjuk bagi polisi dalam mengungkap kasus ini. Siapakah sebenarnya pembunuh wanita bernama Tasmirah ini? Kisah ini dapat disimak bersama hasil penelusuran tim Jejak Kasus.
Sabtu, 25 September 2009 lalu, kawasan tempat pelelangan ikan dilingkungan pelabuhan laut, Pekalongan, Jawa Tengah ramai dipadati warga. Seorang bandar ikan bernama Tarmirah, dikabarkan telah tewas dibunuh seseorang. Dan mayatnya ditemukan tergeletak di halaman belakang Bank Pembangunan Daerah, Jawa Tengah, yang biasa dipakai untuk menyimpan garam.
Beberapa warga kemudian melihat tubuh wanita asal Ki Dukuh, Jangking, Boyongsari, Jawa Tengah ini mengalami luka parah dibagian punggung dan kepala. Mukanya bahkan remuk sehingga agak sulit mengenalinya.
Petugas Polsek Pekalongan Utara, dibantu Tim Serse dari Polres Kota Pekalongan, sesaat setelah dilapori warga, langsung melakukan identifikasi ditempat kejadian perkara. Ditempat itu, petugas melihat genangan darah segar masih deras mengucur dari bagian kepala korban, bahkan sebagian mengalir kedalam got.
Beberapa orang kemudian dimintai keterangan, khususnya para buruh ikan yang dikenal dekat dengan korban. Namun dari pemeriksaan awal itu, petugas belum mendapatkan gambaran tentang siapa pelaku pembunuhan ini. Karena sebagian besar warga yang ditemui petugas disekitar pelabuhan lebih memilih diam.
Jenazah Tasmirah selanjutnya dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Pekalongan, untuk kepentingan otopsi. Memasuki dua pekan penyidikan, barulah petugas mendapatkan titik terang. Setelah salah seorang alang-alang atau tukang punggut ikan mengaku melihat peristiwa pembunuhan itu terjadi.
Berbekal keterangan sejumlah warga tersebut, polisi kemudian mencurigai salah seorang buruh ikan bernama Herman, sebagai pelaku pembunuhan ini. Pria yang sehari-hari bekerja dengan korban itu, dianggap memiliki motif kuat untuk melakukan tindakan tersebut. Karena beberapa saat sebelum kejadian itu, polisi memperoleh informasi, laki-laki itu terlibat keributan dengan korban.
Untuk memperjelas dugaan mereka, polisi kemudian membawa Herman untuk diperiksa. Sebuah pipa besi pemecah es balok berlumuran darah yang ditemukan petugas disekitar letengan, kemudian menjadi barang bukti penting dalam upaya polisi mengungkap kasus ini. Dari besi itu, polisi akhirnya menemukan sidik jari Herman, yang akhirnya menguatkan polisi untuk menetapkan pria itu sebagai tersangka.
Butuh waktu hampir satu bulan bagi polisi untuk bisa memperoleh gambaran jelas tentang peristiwa pembunuhan ini. Tapi dari proses penyidikan yang cukup melelahkan itu, polisi yakin tersangka Herman lah pelaku pembunuhan Tasmirah.
Nama Herman, tepatnya Herman Sujarwoko, dilingkungan tempat pelelangan ikan Pelabuhan Laut Pekalongan cukup dikenal, terutama dikalangan para buruh pengangkut ikan. Selain pembawaannya yang tempramental, ia juga kerap membantu kegiatan bongkar muat kapal yang baru sandar di pelabuhan.
Namun sehari-harinya, ia lebih banyak bekerja dengan korban Tasmirah, sebagai buruh ikan. Dalam pemeriksaan di kepolisian, Herman awalnya membantah sebagai pelaku pembunuh majikannya tersebut.
Namun, setelah polisi menghadapkannya dengan barang bukti sebatang besi pemecah es, yang disitu terdapat sidik jarinya, pria ini akhirnya tidak berkutik. Dan mengakui memang dia yang telah membunuh wanita itu.
Keterangan sejumlah saksi juga menguatkan tuduhan polisi. Dari proses penyidikan yang mereka lakukan, polisi akhirnya mendapatkan gambaran. Kalau peritiwa pembunuhan ini bermula ketika dini hari sebelum kejadian, korban yang datang ke pelelangan ikan tidak melihat tersangka diantara anak buahnya yang saat bersamaan sedang sibuk, menurunkan ikan dari kapal yang baru mendarat.
Korban lalu mencari tersangka diseluruh tempat pelelangan, namun Herman tetap tidak ditemukan.Kepada polisi Herman mengatakan, pagi itu saat korban datang, ia sudah ada dilingkungan pelabuhan. Namun, ia sengaja tidak menampakan diri, karena justru sedang berencana membuat perhitungan kepada sang majikan, yang kerap memarahinya.
Dari tempatnya bersembunyi, Herman menunggu waktu yang tepat menjalankan rencananya. Saat melihat sang majikan berjalan ke arah kamar mandi dibagian belakang Bank BPD, tersangka merasa waktunya sudah datang. Dan dia mengikuti wanita itu dari kejauhan. Ketika melihat Tasmirah keluar usai membuang air kecil, tersangka langsung bertindak.
Tasmirah yang kaget mendapat serangan mendadak dalam keadaan terluka parah, masih berusaha meminta pertolongan. Namun wanita itu akhirnya roboh, karena terlalu banyak mengeluarkan darah.
Tanpa sepengetahuan Herman, semua perbuatan itu diketahui 3 orang pemunggut ikan yang mengaku mendengar jeritan korban. Saat mereka berada tidak jauh dari tempat itu. Adapun Herman, usai menganiaya Tasmirah, tersangka kemudian menyeret tubuh korban kearah pintu kamar mandi. Disitu, ia mengambil seluruh perhiasan dan uang milik korban, yang sebagian diantaranya upah para pekerjanya. Setelah itu, ia kemudian membuang besinya dan kembali ke tempat ia biasa mangkal seperti tidak terjadi apa-apa.
Marzuki, salah seorang dari 3 saksi mata, semula mereka mengira suara yang mereka dengar adalah suara dua orang yang sedang berhubungan intim. Karena suara yang mereka dengar itu, mirip-mirip adegan film porno yang kerap mereka tonton. Karena itu, mereka sempat mencari tempat yang tepat agar bisa melihat lebih jelas adegan itu.

Terkejutlah mereka, karena yang mereka lihat bukan dua orang yang sedang berhubungan intim. Tapi Herman yang mereka kenal, sedang menginjak-injak tubuh seorang wanita dalam posisi telungkup. Namun, ketiga remaja ini bukannya melaporkan peristiwa itu kepada orang lain, mereka malah bersepakat untuk tutup mulut. Karena takut kepada Herman yang mereka akui sebagai salah satu preman ditempat pelelangan ikan itu.
Tidak ada isak tangis sanak keluarga melepas kepergian Tasmirah. Setidaknya itulah suasana yang didapat tim Jejak Kasus saat mengunjungi rumah korban di Dusun Gangkring, Pekalongan.
Di rumah yang belum selesai dibangun ini, korban memang tinggal sendiri. Menurut seorang wanita bernama Jamisa, Tasmirah memang hidup sebatang kara. Tidak memilik anak, tidak memilik sanak keluarga. Kecuali Jamisa sendiri yang kerap korban panggil Bude. Tasmirah, menurut wanita ini, sebenarnya masih terikat perkawinan siri dengan seorang pria yang sudah beristri.
Sudah lama korban ditinggal karena laki-laki itu lebih memilih tinggal dengan istrinya tersebut. Jamisa mengaku sangat terpukul dengan nasib yang dialami keponakannya ini. Tasmirah menurutnya, sepanjang hidupnya banyak mengalami cobaan, dan peristiwa ini seakan menjadi klimak dari getirnya hidup sang keponakan.
Jamisa mengaku kaget dengan tewasnya Tasmirah. Karena kepada orang yang dianggap paling dekat seperti dirinya pun, korban tidak pernah bercerita tentang masalah yang terjadi dalam usahanya sebagai bandar ikan, termasuk soal tersangka.
Beberapa waktu sebelum peristiwa ini terjadi, korban pernah mengutarakan niat mengajaknya jalan-jalan keliling kota Pekalongan dan ke berbagai obyek wisata di kota itu. Sayang, sampai maut merenggut nyawanya, niat itu belum kesampaian.
Sayang upaya menggali lebih jauh soal kehidupan perkawinan korban tidak kesampaian. Karena saat tim Jejak Kasus mencoba mendatangi rumah suami korban, pemilik rumah menolak ditemui, bahkan mengaku tidak kenal dengan korban. Bahkan untuk sekedar mengambil gambar rumah sang suami pun mengalami hambatan. Karena dihalangi beberapa orang pria yang mengaku keluarga dari rumah itu.
Pihak kepolisian sendiri kini sudah menyelesaikan penyidikannya. Herman dihadapkan pada dua tuduhan sekaligus, yakni melakukan pembunuhan secara berencana dan pencurian dengan kekerasan. Tersangka Herman saat ditemui di tempatnya ditahan nampak sangat tenang. Bahkan pria ini mengaku lega, karena tidak ada lagi orang yang akan menghinanya.
Dalam realitas kehidupan di masyarakat, jalan hidup wanita seperti Tasmirah ini memang rawan gangguan. Sendirian mencari nafkah dilingkungan yang keras seperti pelabuhan tanpa kewaspadaan tinggi, akan sangat gampang mengoda mereka yang berniat jahat untuk bertindak.
Nasi sudah menjadi bubur, dan kasus ini hendaknya menjadi pelajaran bagi mereka, terutama kaum wanita yang hidup mengais rejeki di lingkungan malam untuk selalu waspada. (Sup)

PENGUMUMAN BUKA BERSMA

Sabtu, 1 Sep 2010
Aula : HALL C
pukul : 15.30 - selesai
HTM: Rp 12.000
Pembicara:
Drs.Ahmad Muhibbin,M,Si (Dosen PKn)
Moderator:

Fasilitas:
Full Ilmu, Teman Baru, Pin, Makan
Informasi Pendaftaran:
Abih (085727826876)
Ratna(085641075115)
Sekretariat HMP Pkn

VISI DAN MISI

Visi Jurusan PKn
Pengembangan Progdi PKn FKIP UMS ke arah memperkuat jurusan sebagai lembaga pelopor dan unggul (leading and outstanding department) bertaraf internasional (internasional level) dalam bidang akademik dan profesional untuk mengembangkan tenaga kependidikan PKn yang profesional, pendidikan disiplin ilmu, disiplin ilmu pendidikan, dan disiplin ilmu lainnya.
Misi Jurusan PKn
1. Menyelenggarakan pendidikan untuk menghasilkan tenaga kependidikan PKn dan Tata Negara yang profesional dan memiliki daya kompetitif tinggi.
2. Menyelenggaralan kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk memperkuat epistemologi dan “ body of knowledge” ilmu politik, hukum, kenegaraan dan kewarganegaraan melalui berbagai kegiatan akademik serta untuk mendukung pengembangan jurusan.
3. Mengembangkan dan membina berbagai rumpun studi seperti politik, hukum, kenegaraan dan kewarganegaraan serta etika, nilai dan moral bernegara.
Sasaran Jurusan PKn
Program Studi PKn sebagai bagian integral dari FKIP UMS mempunyai sasaran sebagai berikut :
1. Melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan misi Tri Dharma Perguruan Tinggi dan amanat Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Mendidik calon-calon guru prajabatan dan dalam jabatan profesional untuk jenjang SMP/MTs dan SMA/MA/SMK dalam bidang studi PKn.
3. Mempersiapkan sumber daya manusia terdidik, calon dosen, penatar dan konsultan pendidikan dalam bidang PKn.
Tujuan Jurusan PKn
1. Menghasilkan lulusan tenaga kependidikan PKn dan Tata Negara yang profesional dan memiliki daya kompetitif tinggi.
2. Menghasilkan berbagai karya ilmiah yang terkait dengan “body of knowledge” dalam pendidikan disiplin ilmu dan disiplin ilmu politik, hukum, kenegaraan dan kewarganegaraan.

Sabtu, 07 Agustus 2010

PENGUMUMAN MAHASISWA BARU

SELURUH MAHASISWA ANGKATAN 2010 PADA TANGGAL 28 BERKUMPUL C.4 UNTUK MENGETAHUI KELAS,PA DAN JADWAL KULIAH.....??

Senin, 19 Juli 2010

PENGUMUMAN

Di beritahukan kepada mahasiswa fkip bahwa yudisium dilaksanakan pada tgl 18 ags 2010
dan KRS onlie dilaksanakan pada tgl 19 agts 2010.......

kuliah umum

Cita Sipil Indonesia Pasca-kolonial1:
Masalah Lama, Tantangan Baru2
Freddy K. Kalidjernih3

Abstrak

Makalah ini membahas beberapa aspek historis dan politis formulasi cita sipil (civic ideal) Indonesia, khususnya dikaitkan dengan pendidikan kewarganegaraan. Dengan mengambil perspektif pasca-kolonial, saya ingin berargumen bahwa pelbagai masalah sudah melekat sejak formulasi cita sipil itu dilakukan dan terus mempengaruhi pendidikan kewarganegaraan Indonesia selama enam dasawarsa terakhir. Faktor otoritas negara—yang dominan– dalam mengkonstruk cita sipil Indonesia pasca-kolonial hanyalah satu determinan. Hegemoni ideologis rezim dapat terwujud karena saling pengaruhnya dengan dua faktor utama lain, yakni struktur dan kultur pasca-kolonial. Oleh karena itu, ketiga aspek ini akan tetap menjadi tantangan dalam merevitalisasi cita sipil melalui formulasi pengetahuan kewarganegaraan Indonesia, khususnya melalui pendidikan formal kewarganegaraan, kini dan masa depan.

Otoritas Negara bukan Satu-satunya Determinan

Pendidikan kewarganegaraan Indonesia zaman Orde Baru (1966-1998) dikritik karena tidak atau kurang merefleksikan cita sipil yang demokratis.4 Anggapan selama ini adalah bahwa kekeliruan itu bersumber pada otoritas negara (state agents) melalui indoktrinisasi politik yang berlebihan. Setelah pelengseran rezim otoriter, yakni ketika indoktrinisasi sudah tidak terdengar lagi, timbul harapan besar bahwa kehidupan berbangsa akan semakin demokratis. Di era ‘reformasi’, wacana kewarganegaraan baru meletakkan pengakuan atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam masyarakat pluralis yang demokratis. Atau dengan kata lain, perjuangan dan pemerolehan hak sipil, hak asasi manusia dan keadilan sosial dan politik diyakini akan lebih mudah dicapai. Upaya itu diwujudkan, misalnya, melalui amendemen Undang Undang Dasar 1945 dan keinginan untuk merevitalisasi Pancasila. Akan tetapi, setelah hampir sewindu, kelihatannya harapan ini tidak begitu tampak, terkecuali pada aspek kebebasan berekspresi dimana kesempatan yang tersedia memang juah lebih luas (tidak terkekang) dibandingkan dengan kesempatan pada masa rezim otoriter. Di lain pihak, di era ‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia justru dihadapkan pada pelbagai fenomena yang mempengaruhi kewarganegaraannya, seperti rasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitaslisasi cita sipil, khususnya melalui pendidikan kewarganegaraan.

Sekalipun peran rezim otoriter dalam menyumbangkan kelemahan pendidikan kewarganegaran memang sangat dominan, menurut hemat saya analisis mengenai indoktrinisasi politik dan hegemoni ideologis rezim tersebut harus dikontekstualisasikan ke dalam lingkungan Indonesia pasca-kolonial. Indoktrinisasi tidak terjadi dalam kevakuman. Tidak cukup menunjukkan kelemahan kewarganegaraan rezim otoriter yang hanya disebabkan oleh indoktrinisasi. Pertanyaan yang lebih penting yang semestinya diajukan adalah bagaimana dan dalam kondisi apa indoktrinisasi itu dimungkinkan. Dengan menjelajahi kondisi-kondisi ini kita dapat mengidentifikasikan lebih baik isu-isu inheren yang dikonstruk melalui teori, konsep dan perspektif sosial dan politik Barat. Argumen saya adalah bahwa relasi kekuasaan Indonesia pasca-kolonial tidak seimbang karena kultur dan struktur sosial relatif stabil (atau: diupayakan stabil oleh rezim melalui ‘normalisasi’ kehidupan sosial); sementara itu, penafsiran makna sosial dimonopoli oleh negara. Jadi, terdapat tiga faktor utama yang saling berhubungan, yakni struktur sosial, kultur dan otoritas negara yang membentuk kondisi-kondisi kewarganegaraan demokratis dan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia pasca-kolonial. Kenyaatan ini mengimplikasikan bahwa upaya memodifikasi kurikulum pendidikan kewarganegaraan Indonesia pada masa pasca-rezim otoriter akan berdampak kecil bila kondisi-kondisi pasca-kolonial tersebut tidak berubah banyak.

Makalah ini menelusiri beberapa aspek penting Indonesia pasca-kolonial yang menjadi kondisi-kondisi yang mempengaruhi gagasan kewarganegaraan dan praktiknya di Indonesia selama enam dasawarsa terakhir, dan selanjutnya dibagi menjadi beberapa bagian. Mengikuti bagian pengantar ini dipaparkan secara ringkas kondisi Indonesia pasca-kolonial dimana saling pengaruh otoritas negara, institusi-institusi, struktur-struktur sosial, dan kultur-kultur masyarakat Indonesia telah mempengaruhi praktik kewarganegaraan Indonesia. Bagian selanjutnya melihat bagaimana landasan ideologis Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dipahami, dan bagaimana teori negara integralistik muncul sebagai gagasan yang mempengaruhi hubungan antara negara dan warganegara dalam kehidupan politik Indonesia pasca-kolonial. Bagian yang mengikutinya mengulas beberapa ciri sistem politik negara Indonesia pasca-kolonial yang hingga dewasa ini masih mempengaruhi panggung politik dan kewarganegaraan negara ini. Pada bagian ‘Islam dan Civil Society’ akan diulas secara ringkas bagaimana kaum intelektual dan pemuka agama mencoba memahami perspektif dan ajaran Islam dalam konteks negara Indonesia ‘modern’. Bagian ini diikuti dengan sebuah bagian yang lebih ringkas yang mencatat beberapa isu kultural penting yang menandai kehidupan masyarakat di Indonesia. Bagian terakhir merupakan bagian penutup yang sekaligus mengajak kita mempersiapkan diri untuk mengevaluasi perubahan-perubahan dan hasil dari perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap pendidikan formal kewarganegaraan setelah lengsernya rezim otoriter Orde Baru.



Kondisi Indonesia Pasca-kolonial

Isu-isu kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan Indonesia tidak hanya melibatkan kebijakan pendidikan rezim yang memerintah di negara ini, tetapi juga faktor-faktor kultural dan struktural. Sebagai sebuah negara-bangsa baru, Indonesia pasca-kolonial mewarisi suatu lingkungan yang membuat konsep kewarganegaraannya problematis. Kepentingan rezim hanyalah salah satu variabel yang membentuk cita sipil Indonesia. Dua fitur penting lain adalah variabel sosial dan kultural. Aspek struktural meliputi struktur sosial yang membentuk karakter ekonomi dan politik negara ini. Pada gilirannya, faktor-faktor ekonomi dan politik mempengaruhi aspek-aspek sosial dan psikologis. Variabel-variabel kultural meliputi nilai-nilai kultural, khususnya etika dan cara pandang (world-view) Jawa, dan perspektif Islam tentang kedirian (self) dan relasi sosial. Bersama konsideran-konsideran struktural, kedua variabel inilah yang digunakan rezim selama ini dalam mempengaruhi gagasan kewarganegaraan demokratis Indonesia. Ketiga variabel ini membentuk determinan cita sipil Indonesia, dan bersama-sama mempengaruhi sejauh mana kewarganegaraan yang demokratis dipraktikkan di negara ini. Interseksi (intersection) mereka dimanifestasikan oleh kebijakan pendidikan. Ringkasnya, pendidikan kewarganegaraan demokratis merupakan hasil dari saling pengaruh (interplay) ketiga variabel ini, otoritas negara dan institusi-institusi, struktur-struktur masyarakat, dan kultur-kultur Indonesia pasca-kolonial.

Karakter fisik, ekonomi dan sosial Indonesia sangatlah berbeda dengan negara-negara-bangsa yang lebih tua dalam masyarakat Eropa dimana kewarganegaraan demokratis modern berevolusi. Dengan lebih dari 17.000 ribu pulau besar dan kecil yang tersebar sepanjang 3.500 persegi-mil, dari Sabang sampai Merauke, luas geografis kepulauan Indonesia lebih luas dari Eropa Barat, dan hampir sebanding dengan Amerika Serikat dan Australia. Dengan jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa, Indonesia kini menduduki peringkat keempat negara paling padat di dunia. Tambahan pula, dengan jumlah sekitar 500 kelompok etnis dan 700 bahasa, Indonesia merupakan negara yang memiliki budaya paling beranekaragam di planet ini.

Masalah-masalah ekonomi dan struktural yang serius sudah terdapat di Indonesia sejak kemerdekaan. Bertahun-tahun Indonesia bergantung kepada pinjaman dan investasi modal luar negeri. Dewasa ini pengangguran diperkirakan mencapai sekitar 40 juta orang. Sebagain jumlah penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ketidaksetaraan distribusi manfaat ekonomi secara vertikal dan horizontal melintas keanekaragaman penduduk, dan kekurangan akses kepada pelbagai bentuk infrastruktur fisik, seperti pendidikan dan kesehatan, teknologi komunikasi dan transportasi, telah mempengaruhi secara serius integrasi dan pembangunan bangsa. Kondisi-kondisi struktural ini diperburuk oleh pelbagai masalah sosial dan kultural, terutama ketegangan-ketegangan etnis dan agama yang secara potensial eksplosif dan mudah dipolitisir. Secara historis, ekonomi negara ini secara substansial kurang mendapat perhatian pada zaman Orde Lama (1945-1966), karena urgensi perjuangan-perjuangan pasca-kemerdekaan. Perhatian Indonesia banyak dicurahkan kepada perjuangan melawan Belanda, yang kembali ke kepulauan ini antara 1945 dan 1949 guna menancapkan kembali kekuasaan kolonialnya. Energi bangsa juga terserap oleh konflik-konflik antar faksi di negara baru ini, khsusnya antara kekuatan-kekuatan komunis dan non-komunis di tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Lama. Indonesia sangat terkena dampak oleh dua ideologi dunia pada masa Perang Dingin: kapitalisme/liberalisme dan sosialisme/komunisme.

Sebagai sebuah negara eks-koloni yang sangat ingin mencicipi kebebasan, Indonesia sangat rentan terhadap hegemoni global Amerika. Negara ini mengadopsi sistem pemerintahan federal yang bertahan hidup sangat pendek yang dipaksakan oleh Belanda (1949-1950), dan kemudian mencoba sistem pemerintahan liberal (Demokrasi Parlementer (1950-1957)). Walhasil, Amerika Serikat segera mempengaruhi negara yang ‘kurang-berdaya’ ini, sebagian melalui bantuan keuangan. Akan tetapi kondisi-kondisi politik yang tidak stabil dan ekonomi yang stagnan mendorong Sukarno condong kepada sosialisme, dan memberlakukan Demokrasi Terpimpin (1957-1965) Situasi ekonomi semakin memburuk. Amerika Serikat menjadi semakin peduli dengan gerakan-gerakan ke arah komunisme di Indonesia, dan mengintervensi negara ini secara politik, ekonomi dan kultural (Anderson 1998). Pada tahun-tahun terakhir Orde Lama, Sukarno menjadi semakin otoriter dan terisolasi, sampai dia kehilangan kontrol terhadap situasi negara ini. Pada tahun 1966, setelah terjadi kudeta, dia dipaksa untuk mentransfer kekuasaannya kepada Suharto.

Suharto mengimplementasikan sebuah model pembangunan untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang ditinggalkan rezim Orde Lama. Dia menjalin hubungan dekat dengan kekuatan-kekuatan Barat dan meluncurkan gerakan anti-komunis. Dia sukses membawa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan pada dua dekade pertama pemerintahannya. Stabilitas politik masa Orde Baru utamanya karena pemerintahannya yang otoriter. Atas nama pembangunan nasional dan anti-komunisme, rezim Suharto otoriter dan represif dan ditandai oleh semakin meningkatnya patronase dan nepotisme. Suara-suara alternatif yang dianggap membahayakan posisinya dibungkamnya. Sekalipun membawa pertumbuhan ekonomi, administrasi developmentalisnya banyak mengabaikan prinsip-prinsip etis dalam menghasilkan kekayaan. Korupsi pada tingkat institusi dan individu cenderung endemik, dan kesenjangan distribusi pendapatan menjadi lebih luas. Rezim developmentalisnya sering dianggap banyak kalangan telah melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia. Salah satu fitur yang jelas adalah bahwa selama 32 tahun rezim otoriter ini memaksakan suatu integritas nasional melalui kekuatan dari atas ke bawah (top-down) daripada menumbuhkannya dari bawah ke atas. Integrasi sosial yang dipaksakan dalam masyarakat Indonesia yang plural ini tampak mulai ‘terganggu’ dengan jatuhnya Suharto dan Orde Baru.



Landasan Ideologis

Dalam menyusun filosofi negara dan konstitusi, Indonesia pasca-kolonial bercermin dari pengalaman negara-negara demokrasi yang lebih maju, terutama dalam mengadopsi teori dan konsep sosial dan politik Barat. Akan tetapi, teori dan konsep itu direinterpretasikan dan dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan setempat– suatu kenyataan yang telah mempengaruhi konsepsi cita sipil dalam pendidikan kewarganegaraan negara ini. Pancasila (ideologi negara), Undang-Undang Dasar 1945 (konstitusi nasional) dan paham Negara Integralistik merupakan landasan ideologis dan sistem negara dimana prinsip-prinsip pendidikan kewarganegaraan didasarkan. Akan tetapi, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 terus mendapat tantangan dari waktu ke waktu, baik dalam cara pemaknaan maupun resepsi terhadap keduanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian juga, paham Negara Integralistik yang direadopsi pada zaman Orde Baru karena dianggap cocok dengan kepentingan rezim. Pemaknaan, pemahaman dan penerapan ideologi, konstitusi dan sistem negara ini membawa implikasi penting terhadap kewarganegaraan Indonesia.

Dalam pelbagai perdebatan, Pancasila, misalnya, dianggap sebagai sintesis elemen-elemen demokrasi Barat, perspektif modernis Islam, dan sosialis, serta gagasan-gagasan komunalis desa-desa setempat (Kahin 1970). Umumnya banyak ahli setuju dengan George Kahin, dan menganggap bahwa Pancasila merupakan perpaduan pragmatis dari sejumlah prinsip umum yang sesuai dengan masyarakat Indonesia yang heterogen. Namun, sejumlah kritik diarahkan kepada penggunaan ideologi Pancasila untuk tujuan otoriter oleh pejabat-pejabat Orde Baru, dan efek-efek dari penerapan ini pada struktur-struktur politik. Adam Schwarz, sebagai contoh, mengeritik aplikasi Pancasila sebagai ‘selimut kegiatan politik…yang meninggalkan struktur-struktur politik tetap berdiri tetapi dengan fondasi yang lemah.’ (Schwarz 1999:47). Selanjutnya dia berpendapat bahwa sekalipun kelima sila itu sangat bermakna dan tidak diragukan membantu memoderatkan ketegangan-ketegangan komunal, beberapa pemimpin Orde Baru telah menggunakan mereka untuk memelintir komunikasi yang bermakna antara para pemimpin dan kawula mereka. Di samping itu, pengambilan keputusan yang konsensus yang praktikal di tingkat desa dianggap sebagai sebuah kesepakatan yang diwajibkan dengan pemegang kekuasaanya di tingkat nasional.

Kewarganegaraan di Indonesia secara legal didasarkan kepada konstitusi nasional Undang-Undang Dasar 1945 (Bab X, artikel 26 - artikel 34). Dengan diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1945, bangsa Indonesia menunjukkan bahwa negaranya adalah berdasarkan hukum (rechstaat), dan negara kesatuan yang berbentuk republik. Adopsi dan adaptasi konstitusionalisme dan republikanisme menegaskan bahwa ‘kewarganegaraan dipandang sebagai sesuatu yang umum (res public), dan rakyat akan mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan mereka masing-masing’ (Dagger 2002:155). Penekanan kuat kepada a sense of community and duties, dan pada kepentingan umum daripada kebebasan individu, merupakan argumen bapak bangsa, terutama Sukarno dan Soepomo, tentang nilai-nilai yang cocok untuk negara Indonesia pasca-kolonial.

Salah satu unsur penting yang mewarnai kewarganegaraan Indonesia adalah ‘teori negara integralistik’ yang dilontarkan Soepomo pada sidang umum Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. Setelah menjelaskan hakekat dua paham utama dan menyatakan penolakannya, yakni individualisme Eropa dan Marxisme dan/atau ketidaktatoran proletariat Rusia, Soepomo mengajukan teori integralistik yang diserapnya dari pemikiran Baruch de Spinoza, Adam Muller dan George E.F. Hegel, dan beberapa pemikir Eropa abad ke-delapan belas dan sembilan belas. Menurut teori ini, fungsi negara adalah memperhatikan kepentingan umum sebagai suatu kesatuan daripada kepentingan individu dan kelompok. Masyarakat sistem integral ini saling berhubungan, menjadi bagain tak terpisahkan dari suatu kesatuan atau masyarakat organik. Menurut Soepomo, prinsip kesatuan antara pemimpin dan rakyatnya dan prinsip bersatu dari keseluruhan negara, yang mencerminkan semangat gotong-royong dan semangat kekeluargaan, konsisten dengan kultur Timur.

Teori negara integralistik jelas bersesuaian dengan unsur utama republikanisme dan konsep Jawa tentang ‘manunggaling kawula-Gusti’ (kesatuan antara Gusti dan kawula; yang berdaulat dan subyeknya). Menurut Adam Muller (Magnis- Suseno 1992) gagasan yang ideal tentang negara adalah otoritas sentral yang kuat. Sekali lagi, dimensi ini mirip dengan public enterprise of republicanism. Ini juga dekat dengan hubungan antara yang berdaulat (pemimpin atau negara) dan rakyat biasa, dan fokus kepada supremasi negara (Tuhan atau representasinya di dunia) yang meliputi semesta dan manusia sebagai kesatuan yang populer dalam konsep Jawa ‘manunggaling kawula- Gusti’.

Rezim Orde Baru berupaya merevitalisasi teori negara integralistik, guna melegitimasi kekuasaannya dan menjaga status quo. Sudah jelas bahwa teori negara integralistik dan paham integral (integralisme) tidak tumbuh dari bentuk konstitusional setempat (indigenous) di kepulauan nusantara, tetapi merupakan adopsi dari ideologi Jerman (German-Romanticism), yang pada tahap-tahap selanjutnya tampak pula upaya memperkokohnya melalui teori-teori sosial fungsionalisme-struktural (French-Functionalism) (periksa, misalnya, Gouldner 1970). Bahkan, jejak-jejak pasca-kolonial sangat jelas. Seperti yang ditunjukkan oleh David Bourchier (1996), perkembangan pemikiran politik organik yang bersumber pada Hegel, Muller dan Spinoza, dibawa oleh para sarjana Belanda ke Indonesia, terutama Cornellius van Vollenhoven dan para muridnya. Van Vollenhoven adalah guru Soepomo di Universitas Leiden. Pada tahun 1943, Soepomo yang saat itu adalah seorang guru besar ilmu hukum dan seorang pejabat di Departemen Justisi (Justice Department), juga pernah melawat ke Jepang dan menetap selama empat bulan di sana. Sekembalinya dari negara Sakura itu, Soepomo mengungkapkan kekagumannya atas kebudayaan Jepang dan menyatakan kualitas-kualitas Timur yang esensial dapat memberikan kepada kaum intelektual Indonesia yang teralienasi dalam sistem pendidikan Barat, dengan awareness kepribadian dan kebudayaan nasional mereka pada tataran yang lebih tinggi dan konteks yang lebih luas (Bourchier 1996:70).

Seperti diketahui, Jepang (Dai Nippon) pada awal abad keduapuluh memperluas kekuasaannya dengan melakukan penjajahan di Asia-Timur, dengan menempuh jalan fasistik. Kegandrungan Jepang kepada Romantisme Jerman sekurang-kurangnya dapat ditelusuri dari Inoue Tetsujiro yang tiba di Jerman pada tahun 1890, dan belajar filsafat di sana selama 6 tahun. Inoue merupakan penulis Imperial Rescript yang diindoktrinisasikan melalui instruksi ideologis dan moral di sekolah-sekolah Jepang. Menurut Gluck (seperti dikutip Bourchier 1996:44) ‘Inoue memfabrikasi dasar-dasar ideologi negara-keluarga dari analogi dari seorang pemimpin dari tokoh bapak dalam konfusianisme dan teori-teori organis Barat tentang negara.’ Bila dikaitkan dengan pendidikan kewarganegaraan Indonesia, tidak mengherankan bahwa wacana dan argumen yang menitikberatkan ‘semangat kekeluargaan’ bersesuaian dengan kerangka-kerja ideologi integral, dan manifestasinya dapat ditelusuri dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.



Beberapa Ciri Sistem Politik Negara Indonesia Pasca-kolonial

Di samping isu-isu ideologi, konstitusi dan sistem negara, tampaknya kita perlu melihat bahwa gagasan-gagasan yang diformulasikan oleh para bangsa tidaklah sepenuhnya dapat dipraktikkan dengan baik seperti yang mereka cita-citakan. Hal ini dikarenakan rezim-rezim pemerintahan memiliki beberapa ciri di bawah kondisi-kondisi Indonesia pasca-kolonial. Rezim-rezim otoriter di Indonesia cenderung terbentuk, dimana kekuasaan berada di tangan kepala negara dan/atau eksekutif. Hal ini terjadi karena, seperti di sebut di atas, negara yang baru merdeka dipenuhi dengan konflik internal dan eksternal. Walhasil, revolusi sosial dan penggantian praktik-praktik kolonial tidak dapat segera tercapai. Pada awalnya, upaya nasional didedikasikan untuk menghancurkan kekuasaan kolonial yang mendominasi ekonomi. Akan tetapi, seperti ditunjukkan oleh Magnis-Suseno (2000), setelah kekuasaan politik penjajah berhasil dihancurkan, perubahan-perubahan struktur sosial tidak dirasakan sebagai urgensi. Hal ini dikarenakan struktur itu bertalian dengan kepentingan-kepentingan ekonomi elit politik.

Di satu pihak, para elit politik mengklaim sebagai nasionalis yang mendorong pembangunan nasional untuk rakyat. Di lain pihak, kelompok elit yang sama sering terlibat secara aktif dan secara finansial tertarik dalam pembangunan. Untuk memastikan negara dan ekonomi-nya (mereka?) berjalan lancar, dan dengan berwacana tentang ancaman komunis yang ‘real’ ataupun ‘dibayangkan’, stabilitas pun dipaksakan. Rezim Orde Baru, misalnya, menggunakan kata pamungkas ‘stabilitas’ untuk melegitimasi represi hak sipil individu dan perbedaan-perbedaan kultural, melalui kekuatan-kekuatan militer dan polisi, melalui aparatus negara yang ideologis, dan melalui pendidikan kewarganegaraan. Dalam konteks ini, praktik-praktik demikian tidak jauh banyak berbeda dari kekuasaan kolonial Belanda (dan Jepang), dan menjadi terinstitusionalisasikan dalam organisasi-organisasi dan birokrasi Indonesia yang merdeka.

Penekanan pada administrasi dan ekonomi pembangunan daripada politik yang dilakukan rezim Orde Baru, sebagai contoh, dianggap mirip dengan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1930an, yakni menekankan ‘negara sebagai mesin birokrasi yang efisien’ atau Beamtenstaat (McVey 1982:84). Banyak pengamat juga meyakini bahwa pengaruh Jawa, melalui reproduksi suatu sistem birokrasi patronase. Donal K. Emerson (1976), misalnya, berkesimpulan kultur politik Indonesia pada dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru sangat dicirikan oleh hubungan patron-klien. Sementara itu, Robison (1982) menegaskan bahwa politik patron-klien hanyalah satu dimensi kekuasaan dan politik Orde Baru. Dia berargumen bahwa abalisis politik Orde Baru harus mempertimbangkan dimensi sosio-ekonomi. Menurutnya, Orde Baru sendiri merupakan mikrokosme (microcosm) perjuangan antara bentuk-bentuk patrimonial dari kantong produksi tua dan formasi sosial petani dan bentuk otoritarian teregulasi yang baru dari suatu industrializing Indonesia’ (Robison 1982:146).

Herbert Feith (1980) menganggap bahwa birokrasi negara Indonesia pasca-kolonial yang menekankan pembangunan yang awalnya menjanjikan prospek bagi kesejahteraan rakyat dari kehancuran ekonomi di masa Orde Lama menjadi represif pada tahun-tahun sesudahnya. Rezim developmentalis-represif yang terdapat di pelbagai Asia, termasuk Indonesia, dicirikan oleh penguatan tema-tema ideologis tentang kewajiban moral kepada negara, seperti disiplin nasional, persatuan nasional, stabilitas untuk pembangunan dan manipulasi politik yang memperlemah dan memecah-belah kelompok-kelompok kekuatan alternatif. Nasionalisme sering ditandai oleh suatu dorongan untuk kembali ke nilai-nilai tradisional. Rezim-rezim developmentalis-represif menekankan pentinya hieraki, administrasi dan manajemen. Mereka curiga dengan segala antusiasme politik. Perlu ditambahkan di sini, rezim-rezim semacam ini—contoh konkrit adalah Orde Baru– lazimnya menekankan nasionalisme otoriter yang secara seragam mengkonstruk kewarganegaraan sebagai kesatuan organik dari suatu bangsa. Oleh karena itu, kebebasan dilihat dari sudut ‘bangsa vis-à -vis musuh-musuh dan pengacau-pengacaunya’ (Zubaida 1999:387).

Disamping beberapa ciri tersebut di atas, Harold Crouch (1980) menunjukkan bahwa kebijakan birokrasi pasca-Sukarno ditandai oleh tiga fitur utama, yakni: pertama, institusi-institusi politik yang didominasi oleh birokrat; kedua, parlemen, partai-partai politik dan kelompok-kelompok penekan yang kemampuannya untuk menyeimbangi dan mengontrol kekuasaan birokrasi relatif lemah, dan ketiga, secara politik, massa di luar birokrasi pasif, karena partai-partai politik dan kelompok-kelompok penekan lemah.



Islam dan Civil Society

Banyak sarjana telah mengidentifikasikan Islam sebagai salah satu pengaruh dalam pembentukan karakter negara dan masyarakat Indonesia pasca-kolonial (Benda 1958; Geertz 1968 1960; Hefner 2000, 1998, 1997; Lev 1972; Samson 1978). Sejak formulasi Pancasila sebagai dasar ideologis negara, perspektif dan ajaran Islam telah mempengaruhi perilaku politik dan nilai-nilai sosial masyarakat (periksa, misalnya, Yamin 1959). Pelbagai perdebatan pun masih berlangsung hingga kini di kalangan intelektual dan pemuka agama Islam di Indonesia tentang bagaimana bangsa Indonesia harus ‘memaknai’ dan ‘membangun’ negara Indonesia modern. Dua dasawarsa terakhir terjadi perubahan-perubahan signifikan pendekatan dalam menerapkan ajaran Islam oleh kaum intelektual Muslim di Indonesia.

Sebagai contoh, Muhammad A.S. Hikam (2000:222-226) mengidentifikasi tiga arus utama. Yang pertama adalah kaum intelektual yang menganggap Islam sebagai sebuah Pandekatan Alternatif. Bagi mereka, Islam dilihat sebagai sistem-nilai yang lengkap, yang seharusnya diterapkan sebagai alternatif untuk sistem (kewarganegaraan) yang ada. Penerapan pendekatan ini menuntut perubahan struktural, seperti yang dilakukan Ayatollah Khomeini di Iran dan Zia-ul Haq di Pakistan, mencakup pendirian bank-bank dan sistem-sistem legal Islam, penerapan gaya-hidup Islam untuk mensterilkan perilaku sosial dan menolak pengaruh-pengaruh non-Islam. Ini berarti kecenderungan menciptakan eklusifitas dan sektarian. Menurut Hikam, penekanan prinsip-prinsip formalistik dan legalistik Islam dapat membahayakan heterogenitas masyarakat Indonesia. Di Indonesia, sejumlah orang dan kelompok mengajukan implementasi prinsip-prinsip Islam untuk melawan tidak adanya atau kurangnya kepatuhan kepada hukum baik oleh elit maupun orang biasa. Di antara kaum intelektual yang masuk dalam kategori ini adalah Imaduddin A.R., A.M. Saefuddin dan Amien Rais.

Arus kedua terdiri dari mereka yang ingin menerapkan Pendekatan Kultural dalam proses penyebaran nilai-nilai Islam melalui modernitas dan pencerahan dalam komunitas Islam (umat). Landasan pendekatan ini adalah rasionalitas dan kontekstualitas pengajaran Islam melintas waktu dan ruang. Modernitas harus dilaksanakan dengan bernapaskan Islam, tetapi pendekatan yang kaku dalam penerapan standar-standar Islam perlu ditolak. Pendekatan kultural ini menarik simpati mereka yang suka dengan kehidupan modern yang bernapaskan nilai-nilai Islam, terutama kalangan menengah dan menengah ke atas kaum Muslim. Bagi Hikam, pendekatan ini mengabaikan kebutuhan perubahan structural untuk mengakomodasi keadilan dan kesetaraan dalam kontek Islam. Pendekatan ini terutama berpusat pada pemikiran dan kegiatan Nurcholish Madjid.

Kelompok ketiga mengambil Pendekatan Transformasi Sosio-kultural. Para intelektual ini menerima keharusan Islam sebagai suatu pendekatan kultural, tetapi bukan sebagai alternatif tunggal. Islam dapat berkembang lebih baik bila berkompelemnt dengan agama dan ideologi lain. Islam perlu membawa transformasi nilai-nilai yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan modern, khususnya kalangan miskin dan kurang berpendidikan. Islam harus memainkan peran dalam perubahan structural dalam masyarakat dengan mengembangkan nilai-nilai demokratis (Syura), egaliterianisme, kebebasan, dsb. Pendekatan ini bertujuan memberdayakan mereka yang ‘tidak berdaya’ (mustadh’afin) baik dalam kalangan Muslim maupun non-Muslim. Kaum intelektual yang masuk dalam kategori ini, seperti Abdurrahman Wahid, Moeslim Abdurtahman dan Djohan Effendi, meyakini bahwa mereka perlu bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan sosial manapun yang bertujuan memperbaiki struktur-struktur dan kondisi-kondisi sosial. Agenda utama mereka mencakup demokrasi akar-rumput, pemberdayaan politik, dan perbaikan ekonomi dan pendidikan.

Pelbagai perspektif Islam dalam pemaknaan Indonesia modern tersebut di atas membawa kita kepada ihwal sekuralisasi dan civil society. Sekularisasi dalam konsep negara-bangsa modern menekankan supremasi dan teknologi (rasio daripada keyakinan agama) dan sering dilihat sebagai melongsorkan keyakinan agama. Bila, sebagaimana disinyalir Ernest Gellner (1994:xi) bahwa, ‘tesis sekularisasi tidak diterapkan dalam Islam’, maka konsep negara-bangsa tidaklah konsisten dengan Islam. Konsep negara dalam Islam, dawlah, tidak mengimplikasikan suatu negara-bangsa dan pemisahan kekuasaan, tetapi ia mengimplikasikan kekuasaan berada dalam dinasti dari sebuah monarki, malik, sultan atau syah, dalam tradisi Arab. Negara dinastik atau monarki (raj) adalah sebuah ‘Dawlah Islamiyyah’, dan legitimasinya berasal bukan dari konstitusinya, tetapi keyakinan Islamik pemimpinnya (Schumann 1999). Konsep negara-bangsa telah lama menjadi problem bagi para pemimpin dan intelektual Islam. Islam mengakui persaudaraan Islam, Ukhuwwah Islamiyyah, dan menolak tribalisme dan nasionalisme Barat sebagai sesuatu yang tidak bersesuai (divisive).

Sehubungan dengan perspektif persaudaraan Islam, kita melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan Indonesia adalah negara-bangsa modern, yang mengakomodir keanekaragaman kultural yang condong kepada semangat kekeluargaan daripada individualisme dan liberalisme Barat modern. Banyak sarjana dan pemimpin Muslim Indonesia tampaknya setuju dengan Nurcholish Madjid yang menegaskan bahwa ‘Kami sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh domensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa’ (Madjid 1987:187).

Diskusi tentang suatu civil society Indonesia yang menunjukkan suatu ruang publik yang bebas dari pengaruh keluarga dan negara dimulai pada akhir 1980an, tetapi itu terjadi di Monash University di Australia, dan bukan di Indonesia. Almarhum Profesor Herberth Feith, seorang Indonesianis yang dihormati, mengundang sejumlah intelektual Indonesia ke sebuah seminar. Yang paling menonjol adalah Profesor Arief Budiman. Tema seminar dan judul dimana makalah-makalahnya disajikan menyangkut kapitalisme Orde Baru, korporatisme dan negara totaliter. Hanya artikel Arief Budiman yang memberikan suatu paparan umum tentang isu-isu civil society (Rahardjo 1999; Budiman 1990).

Sejak itu, para sarjana dan intelektual Muslim di Indonesia mulai membahas masyarakat madani. Perlu dicatat bahwa beberapa sarjana Muslim lebih senang menggunakan ‘civil society’ sebagaimana dilahirkan dalam tradisi Barat, dan sebagian lagi menggunakan masyarakat madani. Menurut Schumann (1999), lazimnya madinah merujuk kepada suatu tempat dimana din (agama) dimuliakan, khususnya pada zaman Nabi Muhammad. Oleh karena itu, mustama madani atau masyarakat beradab memberikan tempat kepada mereka yang bukan Islam tetapi yang hidupnya ‘tertib’. Ketika ihwal masyarakat madani diperdebatkan, umumnya dipahami sebagai sebuah utopia, masyarakat yang diidealkan yang bebas dari intervensi negara, dan diharapkan dapat membawa keadilan kepada masyarakat Indonesia secara umum. Civil society diperlukan agar demokrasi dapat berhasil karena ia mempromosikan asosiasi volunter (voluntary association), toletansi, kesetaraan, keterbukaan dan hak-hak asasi manusia.


Kultur Regional

Di samping kondisi-kondisi strukural, kepentingan-kepentingan politik dan keyakinan-keyakinan agama, sangat perlu untuk mempertimbangkan pengaruh kultur-kultur regional dalam kewarganegaraan demokratis Indonesia. Nilai-nilai dan praktik-praktik lokal memiliki pengaruh besar secara formal dan informal terhadap kegiatan-kegiatan sehari-hari pemerintah dan non-pemerintah. Tribalisme yang dipolitisir bisa saja menjadi batu sandungan dalam pengembangan ke arah suatu ‘kultur nasional’ jika orang-orang dari etnis dan keyakinan religi yang berbeda tidak bekerja sama (Koentjaraningrat 1974). Kultur-kultur dan praktik-praktik lokal dapat saja melongsorkan kohesi sosial dan identitas nasional, dan pada gilirannya semangat demokrasi modern.

Salah satu tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini adalah bagaimana menyingkapi proses global yang mewarnai kehidupan pasca-kolonial. Perkembangan pesat teknologi informasi, bioteknologi, nano-teknologi, perubahan tatanan politik dunia, pertumbuhan penduduk dan eskalasi kerusakan ekologi, meluasnya mobilitas sosial, kapital, gagasan dan ilmu pengetahuan, terus bergulir dan melintas batas-batas negara di era globalisasi. Indonesia pasca-kolonial, yang sebagian penduduknya masih hidup dalam kultur rural dan/atau primordial vis-Ã -vis kultur korporasi (Soemardjan 2000), dituntut untuk dapat menghadapi perbedaan-perbedaan orientasi nilai-nilai secara dialogis, cerdas dan berjangka panjang.

Demikian juga, sikap mental yang dapat menghambat kemajuan yang ditunjukkan Koentjaraningrat (1974) hampir empat dasawarsa lalu sebagai kemunduran dalam aspek sosial-budaya akibat kolonialisasi, perlu mendapat perhatian serius. Sikap mental ini antara lain: meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak bersiplin murni dan tidak bertanggung jawab yang kokoh. Sikap mental ini boleh jadi ikut menyumbangkan pelbagai ketidak-ajeg-an dan ekses beberapa dasawarsa terakhir yang semakin meluas di masyarakat, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, prasangka (buruk), kambing hitam, adu-domba, mentang-mentang (dumeh), pamrih, mumpung, tidak mau mengakui kekurangan, kesalahan dan kekalahan.



Bahan Evaluasi

Bila kita melihat kenyataan-kenyatan di atas, selama enam dasawarsa kewarganegaraan Indonesia pasca-kolonial menekankan pemahaman cita sipil ‘top-down’, melalui ideologi-ideologi besar, konsep-konsep besar wacana modernis Barat atau perspektif tataran makro, yang disebut oleh Mohammad Somantri sebagai ‘the Great Oughts’ yang perlu diajarkan dan dipahami siswa-siswa dengan metode dan teknik yang tidak partipatoris tetapi cenderung merupakan kegiatan menghafal (Somantri 2001).

Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pengetahuan kewarganegaraan telah dikonstruk dan dinarasikan sebagai sebuah strategi identifikasi kultural atas nama kepentingan-kepentingan nasional. Konstitusi dan perkembangan pendidikan kewarganegaraan Indonesia pasca-kolonial tidak muncul dalam suatu kekosongan, tetapi dipengaruhi teori-teori sosial dan politik, dan perspektif, serta pengalaman dari negara-negara bangsa yang lebih tua di Eropa dan Amerika Utara. Kita telah melihat bagaimana penekanan ideologi negara beringsut dalam periode-periode politik yang berbeda setelah kemerdekaan Indonesia. Begitu juga, tujuan-tujuan pendidikan kewarganegaraan berubah sejalan atau menjawab tekanan-tekanan sosio-ekonomi dan kepentingan-kepentingan politik rezim yang berkuasa.

Pada masa Orde Lama yang ditekankan adalah integrasi nasional, yang oleh Sukarno disebut sebagai ‘nation-building’. Nasionalisme civic (civic nationalism) pada masa ini mendorong rakyat (warganegara) untuk patriotik dan mempertahankan negara yang baru diproklamirkan ini dengan segala upaya. Suharto meneruskan strategi dalam menempa identitas nasional. Akan tetapi, berbeda dengan Orde Lama, rezim Orde Baru menekankan pembangunan ekonomi nasional dan stabilitas ekonomi yang didukung oleh konsep ketahanan nasional. Konsep ini diperkuat oleh instrumen ideologis yang dikenal dengan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (Ekaprasetia Panca Karsa), dan adopsi kembali teori negara integralistik.

Pendidikan kewarganegaraan, misalnya, yang diharapkan dapat menyiapkan siswa-siswa menjadi ‘warganegara yang baik’ mempertautkan isu-isu politik negara seperti nasionalisme, patriotisme dan etika, serta isu-isu religi dan kultural. Beberapa ihwal yang problematis yang dapat kita temukan pada pendidikan itu, antara lain: 1) fokus kepada kontrak-sosial dalam republikanisme, konstitusionalisme dan konsep negara organik fungsionalis-struktural, cenderung melupakan tataran-mikro pada psikologi dan interaksi sosial dan jejaringan kultural (untuk analisis yang lebih mendalam, periksa, sebagai contoh, Kalidjernih 2005). Pada gilirannya, hal ini menciptakan ketidakseimbangan relasi kekuasaan. Pendidikan kewarganegaraan cenderung menjelmah menjadi alat untuk mengontrol warganegara secara ideologis. 2) Pendidikan kewarganegaraan tempat republikanisme Barat yang dire-interpretasikan dan diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lokal cenderung membangkitkan isu-isu yang kontradiktif dan pengetahuan civic yang ambivalen. Kontradiksi juga terjadi karena upaya memaksakan kewajiban-kewajiban dengan serangkaian kepatuhan kolektif melalui nilai-nilai lokal, tradisi dan mitos keberlanjutan sejarah yang tak terputus-putus. 3) Keinginan untuk mendorong kepada suatu ‘identitas nasional’, melalui pendidikan kewarganegaraan di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi sebagai salah satu strategi kunci, ditantang oleh kenyataan bahwa ‘identitas nasional’ Indonesia dalam proses ‘becoming’ daripada ‘being’. Identitas-identitas yang dianggap sesuatu yang ‘tetap’ (fixed) dan stabil, nota bene dimensi-dimensi pengetahuan civic, ternyata adalah dinamis.

Jadi, kembali kepada argumentasikan di atas tentang saling pengaruh antara otoritas negara, struktur dan kultur, dapat secara ringkas dijabarkan sebagai berikut: struktur dan kultur pasca-kolonial memungkinkan rezim membangun hegemoni ideologis, dan mereproduk kultur warganegara melalui jalur pendidikan (antara lain, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Rezim memperlakukan kondisi pasca-kolonial sebagai ‘sumber-daya’ (resources) yang mampu melegitimasi hegemoninya, dan pada saat yang bersamaan mereproduk ‘norma-norma’ yang dituntut untuk dipraktikkan oleh warganegara. Alih-alih memberdayakan warganegara, norma-norma ini (yang dalam ‘kesadaran’ dan ‘di bawah kesadaran’ yang diyakni bagian dari nilai-nilai kultural mereka) mengekang mereka untuk bertindak sebagai ‘warganegara demokratis yang baik’ dalam interaksi sosial dalam konteks masyarakat modern.5

Perspektif konformitas yang dipaksakan sehingga merepresi hak individu dan perbedaan kultural merupakan salah satu contoh yang baik. Hak dan kewajiban warganegara yang diwacanakan sebagai yang diatur oleh hukum hanyalah fiksi, karena kepatuhan bukan kepada hukum, tetapi semata-mata kepada pemegang otoritas. Di samping itu, ihwal jender juga terabaikan. Karena reproduksi struktur sosial dan nilai-nilai kultural tadi, peran perempuan cenderung ‘terhapus’ (annihiliated) dari wacana pendidikan kewarganegaraan. Perempuan cenderung dipotret dengan perspektif ‘tradisi’ (Jawa, terutama) dengan segala ‘kodrat’-nya. Alhasil, partisipasi dalam ruang publik mereka (seperti ranah politik, ekonomi, keagamaan) kecil dan hampir tidak tampak, terkecuali bagi mereka yang dianggap ‘pantas’ di mata rezim.

Pada masa transisi demokrasi, kita dapat melihat konsep-konsep mana yang dipaksakan oleh baik rezim Orde Lama maupun Orde Baru akan terus mempengaruhi kebijakan-kebijakan kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan. Bagaimana rezim-rezim baru mempraktikkan keutamaan-keutamaan civic (civic virtues) yang diproklamirkan pendahulunya, seperti patriotisme, kewajiban, kepatuhan dan konformitas? Sejauh mana rezim-rezim baru mempertahankan atau melepaskan kerangka-kerja kewarganegaraan otoriter? Bagaimana mereka menganggapi isu-isu kewarganegaraan bila dikaitkan dengan perubahan-perubahan lokal dan global dalam semua aspek kehidupan? Sejauh mana pula pendidikan kewarganegaraan (PKn) di era transisi demokrasi– sebagai pendidikan yang bertujuan mengembangkan warganegara yang cerdas dengan kompetensi untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan nasional dan internasional sesuai dengan potensi demokratis dan karakter Indonesia dan negara-negara lain (Departemen Pendidikan Nasional 2002:7) –dapat memberi kontribusi signifikan kepada revitalisasi cita sipil Indonesia pasca-kolonial?

Kita masih perlu menunggu beberapa tahun lagi sebelum mendapat jawaban dan sebelum dapat memberikan penilaian dan apresiasi atas hasil dari perubahan-perubahan yang dilakukan. Dengan segala antusiasme, sementara ini kita hanya dapat diingatkan oleh pepatah yang mengatakan: Don’t count your chicken before they are hatched.

_______________

Catatan:

1Saya menggunakan ‘pasca-kolonial’; bukan ‘pascakolonial’ untuk menunjukkan bahwa di samping diskontinuitas, terdapat kontinuitas dan kemiripan antara apa yang terjadi di masa kolonial dengan masa sesudah kolonial. Untuk ulasan mengenai ‘post-colonial(ism)’ dan ‘postcolonial(ism), periksa, misalnya McClintock (1992); Ashcroft, Griffith dan Tiffin (1989)



2Materi makalah ini—yang draft pertamanya disampaikan penulis pada acara diskusi dengan mahasiswa dan dosen Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung pada tanggal 6 Desember 2007– sebagian besar disadur dan/atau diadaptasi dari bab satu, tiga dan empat disertasi saya (Kalidjernih 2005). Makalah ini tidak dimaksudkan sebagai substitusi baik untuk bab-bab maupun disertasi tersebut. Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada mahasiswa dan dosen Universitas Pendidikan Indonesia atas kritik konstruktif dan saran mereka.



3Penulis adalah Staf Pengajar Luar Biasa, Program Pascasarjana, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia.


4Periksa, misalnya, Purwadi (2001), Winataputra (2000), Suryadi dan Somardi (2000), Azis-Wahab (2000)


5Pemakaian konsep ‘sumber-daya’ dan ‘norma-norma’ saya adopsi dari Giddens (1984), tetapi dengan sedikit modifikasi untuk konteks tulisan ini.







Daftar Rujukan Pustaka



Anderson, B.R.O’G. 1998. ‘From Miracle to Crash’, London Review of Books, 16 April,

3-7.

Ashcroft, B. Griffiths, G. dan Tiffin, H. 1989. The Empire Writes Back: Theory and

Practice in Post-Colonial Literatures, London: Routledge

Azis-Wahab, A. 2000. ‘New Paradigm and Curriculum Design for New Indonesian Civic

Education’, makalah yang disajikan dalam Seminar on the Need for New

Indonesian Civic Education, 29 Maret 2000, Centre for Indonesian Civic

Education.

Benda, H.J. 1958. The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under Japanese

Occupation, 1942-1945, The Hague and Bandung: W. van Hoeve.

Bourchier, D. 1996. Lineages of Organicist Political Thought in Indonesia, disertasi

doktoral yang tidak dipublikasikan, Department of Politics, Monash University,

Australia.

Budiman, A. ed. 1990. State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast

Asia, no. 22, Monash University Press, Clayton, Australia.

Crouch, H. 1980. ‘The New Order: The Prospect for Political Stability’, dalam J.J. Fox,

ed. Indonesia: Australian Perspectives, Research School of Pacific Studies,

Australian National University, Canberra, 657- 667.

Dagger, R. 2002, ‘Republican Citizenship’, dalam E.F. Isin dan B.S. Turner, ed.

Handbook of Citizenship Studies, London: Sage, 145-157.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi:

Mata Pelajaran Kewarganegaraan (Citizenship), Sekolah Dasar dan Madrasah

Ibtidaiyah, Jakarta.

Emmerson, D.K. 1976. Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics, Ithaca:

Cornell University Press.

Feith, H. 1980. ‘Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama,

Kerawanan Baru’, Prisma,11 (November), 69-84.

Geertz, C. 1968. Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia,

Chicago: Chicago University Press.

Geertz, C. 1960. The Religion of Java, New York: The Free Press.

Gellner, E. 1994. ‘Foreword’ dalam A.S. Ahmed dan H. Donnan, ed. Islam,

Globalisation and Postmodernity, London: Routledge, xi-xiv.

Giddens, A. 1984. The Constitutions of Society, Cambridge: Polity Press.

Gouldner, A. 1970. The Coming Crisis of Western Sociology, New York: Avon Books.

Hefner, R.W. 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, Princeton:

Princeton University Press.

Hefner, R.W. 1998. ‘A Muslim Civil Society? Indonesian Reflections on the Conditions

of Its Possibility’, dalam R.W. Hefner, ed. Democratic Civility: The History and

Cross-Cultural Possibility of a Modern Political Ideal, New Brunswick:

Transaction Publishers, 285-321.

Hefner, R. W. 1997. ‘Islamization and Democratization in Indonesia’, dalam R.W.

Hefner dan P. Horvatich, ed. Islam in an Era of Nation-States, Politics and

Religious Renewal in Muslim Southeast Asia, Honolulu: University of Hawaii

Press, 75-127.

Hikam, M.A.S. 1999, Politik Kewarganegaraan: Landasan Redemokratisasi di

Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kahin, G.McT. 1970. Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca: Cornell

University Press.

Kalidjernih, F.K. 2005, Postcolonial Citizenship Education: A Critical Analysis of the

Production and Reproduction of the Indonesian Civic Ideal. Disertasi doktoral

yang tidak dipublikasikan., University of Tasmania, Australia.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia.

Lev, D. S. 1972. Islamic Courts in Indonesia, Berkeley dan Los Angeles: University of

California Press.

Madjid, N. 1987. Islam: Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung: Mizan.

Magnis-Suseno, F. 2000. Kuasa dan Moral, (edisi revisi), Jakarta: Gramedia

Magnis-Suseno, F. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius

McClintock, A. 1992, ‘The Angel of Progress: Pitfalls of the Term “Post-colonialism”’,

Social Text, 31/32 (spring), 84-97.

McVey, R. 1982. ‘The Beamtenstaat in Indonesia’, dalam B. Anderson dan A. Kahin, ed.

Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate, Interim

Reports Series (Publication No. 62), Cornell Modern Indonesia Project, Southeast

Asia Program, Cornell University, Ithaca, New York, 84-91.

Purwadi, A. 2001, ‘Citizenship Education for Today and Tomorrow’ makalah yang

disajikan di The International Forum on New Citizenship Education in Asian

Context, Hiroshima, October 29-31.

Rahardjo, M. D. 1999, ‘Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal’,

Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, 1 (2), 7 - 32.

Robison, R. 1982. ‘Culture, Politics, and Economy in the Political History of the New

Order’, dalam B. Anderson dan A. Kahin, ed. Interpreting Indonesian Politics:

Thirteen Contributions to the Debate, Interim Reports Series (Publication no. 62),

Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University

Ithaca, New York, 131-148.

Samson, A. 1978. ‘Conceptions of Politics, Power, and Ideology in Contemporary

Indonesia Islam’, dalam K.D. Jackson dan L.W. Pye, ed. Political Power and

Communications in Indonesia, Berkeley dan Los Angeles: University of

California Press, 196-226.

Schumann, O. 1999. ‘Dilema Islam Kontemporer: Antara Masyarakat Madani dan

Negara Islam’, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, 1 (2), 48-75.

Schwarz, A. 1999. A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability, St. Leonard,

NSW: Allen & Unwin.

Soemardjan, S. 2000. ‘Problems in Cross-Custural Relations’. University of Indonesia

Law Journal, October, 16-35.

Somantri, M.N. 2001. Menggagas Pembaharuan IPS, Bandung: Rosda.

Suryadi, A. dan Somardi, H. 2000. ‘Pemikiran ke Arah Rekayasa Kurikulum Pendidikan

Kewarganegaraan’, makalah yang disajikan dalam Seminar on the Needs

for New Indonesian Civic Education, 29 Maret 2000, Center for Indonesian Civic

Education.

Winataputra, U.S. 2000. ‘New Indonesian Civic Education: A Rationale Building (A

Look-back at the CICED’s National Survey for New Indonesian Civic

Education)’, Center for Indonesian Civic Education.

Yamin, M. 1959. Naskah - Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Siguntang.

Zubaida, S. 1999. ‘Contests of Citizenship: A Comment’. Citizenship Studies, 3

(3), 387-390

PKN DALAM WACANA INTERNASIONAL

Dalam wacana Internasional, PKN disebut dengan NFP (National Forest Programme). Bab 11 (Combating deforestation) dari Agenda 21 http://www.19c.org/habitat/agenda21 dan rencana aksi dari UNCED (the United Nations Conference on Environment and Development) http://www.cie.sin.org/docs/007-585/unced.home.html mengajak setiap Negara untuk mempersiapkan dan mengimplementasikan National Forest Programme. Selanjutnya setiap Negara menyetujui untuk me-review dan jika perlu merevisi tindakan-tindakan dan programprogram yang berhubungan sumber daya hutan dan lahan, serta membangun kebijakan dan perundangan serta mempromosikan perundangan-undangan dan tindakan-tindakan sebagai dasar untuk mengontrol konversi hutan dan semua tipe lahan di masa dating. Dengan demikian semua prinsip dan rekomendasi yang diadopsi dari UNCED dapat dijadikan aksi nyata. Selanjutnya dalam penekanannya dibutuhkan integrasi semua aktivitas tersebut dalam skala global, inter-sektoral dan kerangka kerja partisipatif.
Convention on Biodiversity (CBD) http://www.iisd.ca/linkages/biodiv.html Convention to combat Desertification (CCD) dan Convention on Climate Change (CCC) http://ufcc.int dan Forest Principles http://www.un.org/documents/ga/conf151/aconf15126-3annex3.html telah menyetujui inisiative UNCED untuk merumuskan kriteria dan indicator dari sustainable forest management. Semua difokuskan kepada peningkatan dan penambahan peran aktivitas kehutanan dan kebutuhan untuk memperbaiki perencanaan kehutanan. Pada saat negosiasi antar pemerintah bidang kehutanan, UNCED dilanjutkan dengan IPF dan IFF dengan penekanan peran NFP yang memiliki arti yang sangat penting dalam issue sektor Kehutanan secara global, komprehensif dan multisektor. NFP dimengerti sebagai contry led, sebuah proses partisipatif untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan dan instrument yang effektif dalam mempromosikan pembangunan sektor dalam konteks kebijakan dasar dan strategis dari sustainable development. Keinginan IPF dan IFF komunitas internasional mendukung pembangunan negara-negara yang mereka dukung untuk merumuskan dan mengimplementasi NFP yang berkenaan dengan defenisi prinsip dalam dialog kebijakan internasional.
NFP menyediakan global framework yang dialamatkan kepada issu-issue kehutanan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan. NFP merupakan alat untuk merencanakan, mengimplementasi, dan memonitor kehutanan dan semua aktivitas yang berhubungan dengan kehutanan. NFP mengikuti perencanaan partisipatif dan pendekatan implementasi yang mendorong pelibatan semua forestdependent actors pada tingkat local, nasional dan global dan membangun kerjasama antar semua stakeholders dengan menekankan kepada kedaulatan nasional terhadap hal-hal yang berhubungan dengan manajemen sumber daya hutan dan kebutuhan pemimpin Negara dan responsibility.
Sebagai framework untuk perencanaan, NFP menyediakan orientasi strategis untuk sektor Kehutanan, yang serasi dengan sektor lain dalam kerangka ekonomi nasional
Sebagai framework untuk aksi, NFP menyediakan sebuah lingkungan untuk implemetasi dari program dan aktivitas semua stakeholders yang concerted dan coordinated dengan didasarkan kepada mutually agreed dan strategis.
Pendekatan NFP adalah fleskibel dan dapat diterima dalam situasi yang beragam. Walaupun pada awalnya direncanakan hanya untuk negara-negara tropis dan perencanaan dan implementasi pada level nasional, namun ternyata prinsip dasar dan operational guidelines NFP dapat diaplikasikan pada setiap bentuk hutan dan berdasarkan pada variasi level nasional, internasional dan sub-nasional.
Pemerintah (Nasional) dapat menggunakan framework ini untuk merumuskan perencanaan sektor kehutanan
Pemerintah daerah (decentralized government authorites), sebagaimana partner pemerintah (nasional) seperti community- based organized, organisasi non pemerintah dan sektor swasta, dapat menggunakanya untuk merencanakan dan mengimplementasi aktivitas mereka dalam garis national framework
Institusi internasional dapat menggunakannya untuk menyesuaikan aksi mereka, memperkuat kerjasama dalam bidang Kehutanan dan mempertinggi penggunan manusia dan sumberdaya financial secara effectif dan effesien.
Organisasi regional dan sub-regional dari Negara yang berbeda dengan kesamaan interest dapat menggunakan methodological framework ini untuk merumuskan dan mengimplementasikan secara bersama-sama.
Beberapa international instrument dan legally binding atau non-legally binding terkait dengan NFP antara lain :
UNCED
Forest Principles
Agenda 21
IPF Proposal For Action
IPF 1
IPF 2
IPF 3
IPF 4
IFF Proposal For Action
IFF 3
IFF 4
UNFF
UNFF 1
UNFF 2
CBD
MCPFE